Jumat, 08 Juni 2012

Jajalan Disit

RESUME BUKU KAIFA NATA’ÂMAL MA‘A AS-SUNNAH AN-NABAWIYYAH
KARYA YÛSUF AL-QARADHÂWȊ
Oleh: Hudzaifaturrahman
Dalam buku ini al-Qaradhâwȋ tidak membahas tentang keabsahan as-Sunnah itu sendiri atau menjelaskan tentang otoritasnya (sebagai sumber hukum). Namun dalam buku ini, al-Qaradhâwȋ memusatkan perhatiannya kepada penjelasan prinsip-prinsip dasar dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, baik dalam kedudukannya adalah sebagai ahli fikih ataupun sebagai juru dakwah. Penulis dalam buku ini juga menjelaskan mengenai karakteristik serta berbagai peraturan umum yang esensial untuk memahami as-Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyempitan yang dilakukan oleh sebagian orang yang hanya memahaminya secara harfiah, yang berhenti pada susunan lahiriyahnya, sementara melupakan tujuan yang sebenarnya, dan yang berpegang pada zhahir as-Sunnah saja dan mengabaikan ruh tujuannya.
Sebagaimana buku-buku lain, Yûsuf al-Qaradhâwȋ berusaha menulis buku ini dengan ilmiah dan otentik. Dia menyandarkan setiap ucapan kepada siapa yang mengucapkannya lalu menguatkannya dengan pendapat pribadinya dengan dalil. Dalam buku ini dia juga sangat berpegang pada dalil-dalil yang muẖkam dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan dia juga sangat memperhatikan tujuan-tujuan syariat (maqâshid asy-syarȋ‘ah) serta kaidah-kaidahnya, yang dapat disimpulkan dari nas-nas-nya ataupun dari rincian hukum-hukumnya yang tak terhitung banyaknya.
Dalam buku ini, al-Qaradhâwȋ banyak mengungkap contoh-contoh langsung dalam berbagai tema yang dibahas, sehingga membuat permasalahan lebih jelas dan konkrit sehingga mudah dicerna dan dipahami.
Isi buku ini terdiri dari empat bab. Bab pertama membahas mengenai kedudukan sunnah dan kewajiban kita terhadapnya serta bagaimanaa kita berinteraksi dengannya. Dalam bab ini, yang pertama membahas mengenai kedudukan as-Sunnah dalam Islam. AL-Qaradhâwȋ menulis bahwa as-Sunnah merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw merupakan perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-sehari. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa siapa saja yang mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi saw.
Dalam bab ini juga membahas kewajiban kaum muslim terhadap as-Sunnah. Merupakan kewajiban kaum muslim adalah memahami manhaj nabawȋ yang terperinci, dengan semua ciri khasnya yang komprehensif, saling melengkapi seimbang dan penuh kemudahan. Serta prinsip-prinsip ilâhiyah, kemanusiaan yang mendalam, dan aspek-aspek budi pekerti yang semua itu sangat jelas dalam as-Sunnah.  Dia mengatakan bahwa krisis utama yang dihadapi kaum muslim kini adalah krisis pemikiran dan hal itu didahului oleh krisis kesadaran diri, sehingga kaum muslim harus menghindarkan diri dari 3 penyakit yaitu penyimpangan kaum ekstrem, manipulasi orang-orang sesat dan penafsiran orang-orang jahil. Itulah setidaknya yang harus dihindari oleh kaum muslim untuk menjaga pemikirannya.
Dalam bab ini juga membahas mengenai beberapa prinsip dasar dalam berinteraksi dengan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Prinsip pertama adalah meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis meliputi kesahihan sanad maupun matan. Prinsip kedua dapat memahami dengan benar nas-nas yang berasal dari Nabi saw sesuai dengan pengertian Bahasa Arab dan dalam konteks hadis tersebut serta sabab al-wurûd-nya. Prinsip ketiga adalah memastikan bahwa nas tersebut tidak bertentangan dengan nas lain yang lebih kuat kedudukannya.
Dalam bab kedua membahas as-Sunnah sebagai sumber fikih dan dakwah. Dalam sub babnya membahas mengenai as-Sunnah di bidang fikih dan penetapan hukum syariat yang menerangkan bahwa as-Sunnah adalah sumber kedua setelah al-Qur’an dalam penetapan hukum-hukum fikih dan syariat. Karena itu, pembahasan tentang as-Sunnah, sebagai dasar serta dalil bagi hukum-hukum syariat dilakukan secara luas dalam semua kitab ushûl al-fiqh dan dari semua madzhab. Semua ahli fikih berpegang pada as-Sunnah sebagai sumber hukum. Hal itu dilakukan adalah sebagai bagian dari pelaksanaan agama Allah. Dan tak seorang pun berpeluang untuk menentangnya. Al-Qaradhâwȋ mengutip perkataan asy-Syâfi’ȋ, “Apabila kalian melihat dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunah Rasulullah saw, maka ambillah sunnah beliau dan tinggalklanlah pendapatku.”. Keharusan mempertautkan hadis dengan fikih merupakan hal yang sangat penting. Oleh karenanya seorang ahli fikih harus pula mendalami ilmu hadis. Begitu pula seorang ahli hadis diharuskan mengetahui ilmu fikih dengan baik.     
Masih dalam bab kedua ini al-Qaradhâwȋ membahas as-Sunnah di bidang dakwah dan penyuluhan keagamaan. Dalam as-Sunnah terdapat banyak sekali bimbingan-bimbingan cemerlang, argumentasi-argumentasi amat kuat, hikmah-hikmah yang menyentuh perasaan, ucapan-ucapan padat berisi, nasihat-nasihat berkesan, permisalan-permisalan yang tepat, kisah-kisah yang bermakna, beraneka ragam perintah dan larangan, janji dan peringatan, anjuran dan cegahan, yang semuanya itu mampu mencairkan hati yang beku, membangkitkan gairah yang telah lesu dan mengingat kembali akal yang lupa. Hal itu mengingat bahwa as-Sunnah berjalan di atas garis al-Qur’an, berbicara kepada eksistensi manusia secara keseluruhan, akal maupun hatinya. As-Sunnah membentuk kepribadian manusia muslim paripurna, yang memiliki akal cerdas, hati suci bersih dan fisik yang kuat. Sehingga seorang juru dakwah harus selalu merujuk semua pesan yang akan disampaikan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman utama dalam berdakwah.
Namun demikian, seorang juru dakwah, harus berhati-hati dalam menggunakan dalil dari hadis Nabi saw. Baik makna, nilai, maupun kasus tertentu. Karena pada dasarnya merupakan kewajiban setiap ilmuwan untuk hanya mengandalkan sumber-sumber otentik saja, dan membebaskan intelektualitas mereka dari hadis-hadis yang lemah, munkar, maudhû’ dan yang tidak ada asalnya. Hadis-hadis seperti itu, selama ini, mengisi banyak dari halaman kitab-kitab di bidang pengetahuan keagamaan, sehingga bercampur-aduk dengan hadis-hadis lainnya yang berpredikat sahih ataupun hasan, tanpa pemisahan antara keduanya, serta yang maqbûl dan yang mardûd. Banyak da’i yang mereka tidak memperhatikan aspek tersebut dan terkelabuhi oleh kemasyhûran suatu hadis serta seringnya ia disebut-sebut dalam kitab maupun dalam ucapan-ucapan. Lalu dia mengira bahwa hal itu sudah cukup untuk dipercayai dan diterima dan didakwahkan tanpa meneliti hadis-hadis tersebut. Dan salah satu cacat yang ada pada banyak penceramah dan khatib di masjid-masjid di kebanyakan negeri muslim –menurut al-Qaradhâwî- adalah bahwa mereka itu bagai “pencari kayu di malam hari” yakni mengambil apa saja yang dijumpainya, tanpa melihat kualitasnya. Tujuan mereka adalah mengambil apa saja dari hadis-hadis yang mampu menyentuh perasaan kaum awam, walaupun hadis-hadis tersebut tidak ada sanadnya yang sahih ataupun yang hasan.
Masih dalam bab kedua al-Qaradhâwî mencoba menyentuh ranah perlunya ilmu yang mendalam bagi seorang ahli dakwah. Seorang da’i, tidak sepatutnya membicarakan semua hadis yang diketahuinya, di hadapan khalayak pendengarnya, meskipun hadis-hadis tersebut termasuk sahih seperti yang dinyatakan oleh al-‘Allâmah al-Qâsimiy dalam kitab Qawâ‘id at-taẖdȋts di mana dia menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhârȋ dan Muslim, dari Mu‘âdz mengenai hak Allah kepada hamba dan hak hamba kepada Allah, lalu Rasulullah saw menjawab bahwa hak Allah atas hamba-Nya adalah menyembah-Nya tanpa mempersekutukan dan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan mengadzab siapapun yang tak menyekutukan Allah, lalu Rasulullah saw melarang Mu‘âdz untuk menceritakan kepada orang-orang karena mereka bisa bermalas-malasan dengan hal itu. Walaupun pada akhirnya Mu‘âdz juga memberitahukannya.
Bab kedua al-Qaradhâwî tutup dengan membahas benarkah bahwa setiap zaman lebih jelek dari zaman sebelumnya?.
Adapun bab ketiga al-Qaradhâwî membahas mengenai beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami as-Sunnah an-Nabawiyyah dengan baik. Dia memulai pembahasan tentang memahami as-Sunnah sesuai petunjuk al-Qur’an agar dapat memahami as-Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk. Karena al-Qur’an adalah ruh dari eksistensi Islam, dan merupakan asas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan Islam. Al-Qaradhâwî juga sangat menekankan perlunya penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur’an, di mana perlu diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya pertentangan antara hadis-hadis dan al-Qur’an tanpa dasar yang sahih.               
Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam satu tema. Al-Qaradhâwî mengatakan bahwa untuk memahami as-Sunnah secara benar, kita harus menghimpun semua hadis sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungannya yang mutasyâbih kepada yang muẖkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang ‘amm dengan yang khâs. Dengan cara itu, dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya nas-nas syariat tidak mungkin saling bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Cara menghilangkannya adalah apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nas, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama dari pada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya. Al-Qaradhâwî juga berbicara mengenai naskh dalam hadis. Persoalan naskh ini ada hubungannya dengan ilmu-ilmu al-Qur’an sebagaimana ada hubungannya juga dengan ilmu-ilmu hadis. Di antara mufassir ada yang keterlaluan dalam pernyataanya tentang adanya naskh dalam al-Qur’an, sehingga ada di antara mereka mengatakan bahwa sebuah ayat yang mereka namakan âyat as-saif, telah menasakhkan lebih dari seratus ayat dari al-Qur’an al-Karȋm, walaupun demikian mereka tidak dapat menyepakati apa itu sebenarnya yang disebut sebagai âyat as-saif.
Dia juga membahas tentang memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya. Karena di antara cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, pandangan yang teliti, pengkajian yang meliputi semua nas, serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuan syariat dan hakikat-hakikat agama. Di samping itu, juga diperlukan keberanian moril dan kemantapan kejiwaan untuk mencanangkan kebenaran meskipun berlawan dengan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia atau telah mereka warisi dari nenek moyang.
Setelah itu al-Qaradhâwî membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap. Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh as-Sunnah denga prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju.
Sebelum menutup bab ketiga, al-Qaradhâwî menjelaskan tentang perbedaan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis, juga membahas keharusan menahan diri dari sikap berlebihan dalam penakwilan. Membahas beberapa penakwilan yang tidak dapat diterima, Ibn Taimiyah dan penolakannya terhadap majaz. Dan yang paling terakhir adalah membedakan antara alam ghaib dan alam kasatmata dan memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.
Dan pada penutup al-Qaradhâwî berusaha menekankan pada pembaca bahwa as-Sunnah an-Nabawiyyah yang merupakan sumber terpelihara kedua sebagai pembimbing kaum muslim benar-benar memerlukan pelayanan intensif yang layak bagi kedudukannya serta kedudukan umat Islam. Pelayanan seperti ini harus dilakukan bersama-sama secara gotong royong oleh semua lembaga keilmuan Islam sehingga hasilnya betul-betul dapat memuaskan dan mensejahterakan umat. Menurut pandangan al-Qaradhâwȋ, as-Sunnah perlu dihimpun dalam suatu ensiklopedi besar dan komprehensif, mencakup nama-nama semua pakar hadis serta semua perawi, di samping keterangan lengkap mengenai apa saja yang dikatakan tentangnya baik pengukuhan ataupun pelemahannya bahkan tentang para pendusta dan pemalsuannya.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes