17.15
Unknown
BAB IV
KONSEP BERPIKIR DALAM AL-QUR’AN
MENURUT PENAFSIRAN IBNU KAṠĪR
A. Pembagian Konsep Berpikir Dalam al-Qur’an
Konsep berpikir dalam al-Qur’an tersusun dengan tema-tema pokok yang tercakup dalam term-term berpikir. Sebelum penulis masuk dalam penafsiran Ibnu Kaṡīr, terlebih dahulu penulis akan mengelompokkan term-term berpikir dalam beberapa kelompok. Sebagaimana disebutkan oleh Taufik Pasiak dalam Revolusi IQ/EQ/SQ, antara Neurosains dan al-Qur’an,[1] tema-tema pokok yang tercakup dalam kata ‘aql meliputi:
TOPIK | SUBTOPIK | JUMLAH |
TEOLOGIS | Keimanan | 13 |
Kehidupan akhir | 3 | |
Kitab suci | 4 | |
Shalat | 1 | |
KOSMOLOGIS | Dinamika manusia | 7 |
Tanda kebesaran | 6 | |
Alam semesta | 12 | |
MORALITAS | Etika pribadi atau sosial | 3 |
I. Topik Teologis
a. Terkait masalah keimanan, terdiri dari 13 ayat:
1. Qs. al-Baqarah [2]: 75
2. Qs. al-Baqarah [2]: 76
3. Qs. Yūnus [10]: 42
4. Qs. al-’Anbiyā’ [21]: 67
5. Qs. al-‘Ankabūt [29]: 43
6. Qs. Yāsin [36]: 62
7. Qs. al-Mā’idah [5]: 103
8. Qs. al-Baqarah [2]: 170
9. Qs. al-Baqarah [2]: 171
10. Qs. Yūnus [10]: 100
11. Qs. al-Furqān [25]: 44
12. Qs. az-Zumar [39]: 43
13. Qs. al-Ḥasyr [59]: 14
b. Terkait masalah kehidupan akhirat, terdiri dari tiga ayat:
1. Qs. al-A’rāf [7]: 169
2. Qs. Yūnus [10]: 16
3. Qs. al-Mulk [67]: 10
c. Terkait masalah kitab suci, meliputi lima ayat:
1. Qs. Āli Imrān [3]: 65
2. Qs. Yūsuf [12]: 2
3. Qs. al-’Anbiyā’ [21]: 10
4. Qs. az-Zukhruf [43]: 3
d. Satu ayat yang berkaitan dengan shalat, yaitu Qs. al-Mā’idah [5]: 58.
II. Topik Kosmologi
a. Terkait masalah tanda kebesaran Allah, meliputi enam ayat:
1. Qs. al-Baqarah [2]: 73
2. Qs. al-Baqarah [2]: 242
3. Qs. al-An’ām [6]:32
4. Qs. al-‘Ankabūt [29]: 35
5. Qs. ar-Rūm [30]: 28
6. Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 28
b. Terkait dengan pamahaman proses dinamika manusia, terdiri dari tujuh ayat:
1. Qs. al-Hajj [22]: 46
2. Qs. Yūsuf [112]: 109
3. Qs. Hūd [11]: 51
4. Qs. al-Anfāl [8]: 22
5. Qs. Yāsīn [36]: 68
6. Qs. Āli Imrān [3]: 118
7. Qs. an-Nūr [24]: 61
c. Terkait dengan pemahaman alam semesta meliputi 12 ayat:
1. Qs. al-Baqarah [2]: 164
2. Qs. al-Mu’minūn [23]: 80
3. Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 60
4. Qs. aṣ-Şāffāt [37]: 138
5. Qs. Gāfir [40]: 67
6. Qs. al-Jāṡiyah [45]: 5
7. Qs. al-Ḥadīd [57]: 17
8. Qs. ar-Ra‘d [13]: 4
9. Qs. an-Naḥl [16]: 12
10. Qs. an-Naḥl [16]: 67
11. Qs. al-‘Ankabūt [29]: 63
12. Qs. ar-Rūm [30]: 24
III. Topi Moralitas, terkait masalah etika terdapat tiga ayat:
1. Qs. al-Baqarah [2]: 44
2. Qs. al-An‘ām [6]: 151
3. Qs. al-Ḥujurāt [49]: 4
Dari pembagian term ‘aql di atas, maka penulis juga akan menspesifikasikan term lain yang berkaitan dengan term berpikir. Namun di sini kami hanya akan membahas mengenai term al-fikr, an-naẓr, tadabbara, dan aż-żikr:
1. Al-fikr
Term al-fikr dalam al-Qur’an disebut sebanyak 18 kali. Adapun pengelompokan kata al-fikr berdasarkan topiknya adalah sebagai berikut:
a. Keimanan
1) Qs. al-A‘rāf [7]: 184.
2) Qs. Saba’ [34]: 46.
3) Qs. al-An‘ām [6]: 50.
b. Kitab Suci
1) Qs. an-Naḥl [16]: 44.
2) Qs. al-Ḥasyr [59]: 21.
c. Dinamika Manusia
1) Qs. Al-Muddaṡṡir [74]: 18.
2) Qs. Ar-Rūm [30]: 21.
3) Qs. Al- A‘rāf [7]: 176.
d. Tanda Kebesaran
1) Qs. An-Naḥl [16]: 11.
2) Qs. An-Naḥl [16]: 69.
3) Qs. Az-Zumar [39]: 42.
4) Qs. Ar-Rūm [30]: 8.
5) Qs. Al-Baqarah [2]: 266.
e. Alam Semesta
1) Qs. Al-Jāṡiyah [45]: 13.
2) Qs. Ali Imrān [3]: 191.
3) Qs. Yūnus [10]: 24.
f. Etika Pribadi atau Sosial
1) Qs. Al-Baqarah [2]: 219.
2. An-naẓr
Dalam al-Qr’an kata yang terdari dari pecahan na-ẓa-ra ada sekitar 129 kata dalam 115 ayat[2]. Dan untuk pembagian topik an-naẓr penulis hanya akan membatasi tentang term yang menggunakan kata-kata unẓur, awalam yanẓurū, waltanẓur, falyanẓur, afalam yanẓurū, afalā yanẓurūn, fayanẓurū,unẓurū. Adapun penglompokannya adalah:
a. Keimanan
1) Qs. Al-A‘rāf [7]: 185.
2) Qs. An-Naḥl [16]: 36.
3) Qs. An-Nisā’ [4]: 46.
b. Rasul
1) Qs. An-Naml [27]: 28.
2) Qs. aṣ-Ṣaffāt [37]: 102.
c. Dinamika Manusia
1) Qs. aṣ-Ṣaffāt [37]: 73.
2) Qs. ‘Abasa [80]: 24.
3) Qs. az-Zukhruf [43]: 25.
4) Qs. al-An‘ām [6]: 11.
5) Qs. Ali Imrān [3]: 137.
6) Qs. ar-Rūm [30]: 42.
7) Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 40.
8) Qs. an-Naml [27]: 69.
9) Qs. Muḥammad [47]: 10.
10) Qs. al-An‘ām [6]: 24.
11) Qs. Gāfir [40]: 82.
12) Qs. al-A‘rāf [7]: 103.
13) Qs. Yūnus [10]: 39.
14) Qs. Gāfir [40]: 21.
15) Qs. ar-Rūm [30]: 9.
16) Qs. an-Naml [27]: 14.
17) Qs. al-Ḥadīd [57]: 13.
d. Tanda Kebesaran
1) Qs. al-An‘ām [6]: 65.
2) Qs. al-Kahfī [18]: 19.
3) Qs. al-An‘ām [6]: 46.
4) Qs. Ṭāhā [20]: 97.
5) Qs. al-A‘rāf [7]: 143.
6) Qs. Yūsuf [12]: 109.
7) Qs. al-Baqarah [2]: 259.
8) Qs. Fāṭir [35]: 44.
9) Qs. Yūnus [10]: 73.
10) Qs. al-Mā’idah [5]: 75.
11) Qs. an-Naml [27]: 51.
12) Qs. al-‘Ankabūt [29]: 20.
e. Alam Semesta
1) Qs. ar-Rūm [30]: 50.
2) Qs. Qaf [50]: 6.
3) Qs. Yūnus [10]: 101.
4) Qs. al-A‘rāf [7]: 84.
f. Penciptaan
1) Qs. al-Gāsyiyah [88]: 17.
g. Etika Pribadi atau Sosial
1) Qs. al-Baqarah [2]: 104.
2) Qs. al-Furqān [25]: 9.
3) Qs. al-Isrā’ [17]: 48.
4) Qs. al-Ḥasyr [59]: 18.
5) Qs. an-Nisā’ [4]: 50.
6) Qs. al-Ḥajj [22]: 15.
3. Tadabbara
Di dalam al-Qur’an, ayat yang menggunakan pecahan dari kata da-ba-ra banyak sekali. Namun yang menunjuk kepada makna memikirkan atau merenungkan adalah hanya terdapat dalam empat tempat, dua dengan menggunakan yaddabbarū dan dua dengan menggunakan yatadabbarūn. Dan pengelompokan topik dari kata tersebut adalah:
a. Kitab
1) Qs. Ṣad [38]: 29.
2) Qs. Muḥammad [47]: 24.
3) Qs. an-Nisā’ [4]: 82.
b. Iman
1) Qs. al-Mu’minūn [23]: 68.
4. Aż-Żikr
Di dalam al-Qur’an, ayat yang menggunakan pecahan dari kata ża-ka-ra banyak sekali. Apabila penulis mencantumkan kata ża-ka-ra dalam aplikasi zekr,[3] maka akan muncul 292 kata di 264 ayat dalam al-Qur’an. Namun yang menunjuk kepada makna perbuatan berpikir adalah hanya terdapat dalam 40 ayat sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy. Dan adapun pengelompokan topik dari kata tersebut adalah:
a. Keimanan
1) Qs. al-A‘rāf [7]: 201
2) Qs. at-Taubah [9]: 126
3) Qs. al-Jāṡiyah [45]: 23
4) Qs. ash-Shafāt [37]: 155
b. Kitab
1) Qs. al-Ḥāqqah [69]: 42
2) Qs. ad-Dukhān [44]: 58
3) Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 51
4) Qs. al-Isrā’ [17]: 41
5) Q. az-Zumar [39]: 27
6) Qs. al-A‘rāf [7]: 3
7) Qs. an-Nūr [24]: 1
8) Qs. Āli Imrān [3]: 7
c. Nabi
1) Qs. Hūd [11]: 30
2) Qs. al-A‘rāf [7]: 130
3) Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 43
4) Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 46
d. Dinamika Manusia
1) 44 Qs. Hūd [11]: 24
2) Qs. Gāfir [40]: 58
3) Qs. al-Baqarah [2]: 269
4) Qs. al-Wāqi‘ah [56]: 62
5) Qs. an-Naml [27]: 62
6) Qs. al-A‘rāf [7]: 26
7) Qs. az-Zumar [39]: 9
e. Tanda Kebesaran:
1) Qs. al-Mu’minūn [23]: 58
2) Qs. aż-Żāriyāt [51]: 49
3) Qs. al-An’ām[6]: 126
4) Qs. an-Naḥl [16]: 13
5) Qs. Ibrāhīm [14]: 25
6) Qs. al-An’ām[6]: 80
7) Qs. Yūnus [10]: 3
f. Alam Semesta
1) Qs. an-Naḥl [16]: 17
2) Qs. al-Furqān [25]: 50
3) Qs. as-Sajdah [32]: 4
4) Qs. al-A‘rāf [7]: 57
g. Etika Pribadi dan Sosial
1) Qs. al-Anfāl [8]: l57
2) Qs. Ar-Ra‘d [13]: 19
3) Qs. an-Naḥl [16]: 90
4) Qs. an-Nūr [24]: 27
5) Qs. al-An’ām[6]: 52
6) Qs. al-Baqarah [2]: 221
B. Penafsiran Ibnu Kaṡīr Mengenai Ayat-Ayat Berpikir
1. Pembagian Masalah
Di dalam tafsirnya, Ibnu Kaṡīr memang tidak secara eksplisit menjelaskan makna satu persatu ayat tentang berpikir dan menjelaskannya secara panjang lebar, karena memang di dalam Tafsir Ibnu Kaṡīr tidak begitu mendalam dalam segi linguistik dan perincian takwilnya. Namun demikian, Ibnu Katsir menjelaskan dengan penjelasan yang lugas dengan atsar-atsar baik al-Qur’an itu sendiri maupun hadits dari Nabi Saw.
Dari pengelompokkan term-term berpikir yang telah kami sebutkan, penulis akan mencoba menejelaskan beberapa ayat berpikir dengan berbagai kata yang telah penulis coba kelompokkan sesuai dengan topik masing-masing dengan penafsiran Ibnu Kaṡīr.
a. Masalah Teologis
1) Dengan term ‘Aql
فخلف من بعدهم خلف ورثوا الكتاب يأخذون عرض هذا الأدنى ويقولون سيغفر لنا وإن يأتهم عرض مثله يأخذوه ألم يؤخذ عليهم ميثاق الكتاب أن لا يقولوا على الله إلا الحق ودرسوا ما فيه والدار الآخرة خير للذين يتقون أفلا تعقلون[4]
Ayat tersebut mencoba menjelaskan firman Allah swt bahwa setelah generasi yang di dalamnya terdapat orang saleh dan juga orang jahat, datanglah generasi yang di dalamnya tidak terdapat kebaikan sama sekali, padahal mereka telah mewarisi pelajaran Taurat. Mujahid mengatakan, mereka itu adalah orang-orang Nasrani. Tetapi bisa juga maksudnya lebih umum dari itu. Yang menukar penyebaran kebenaran dengan harta benda dunia, sementara itu mereka menunda-nunda dan menjanjikan diri akan bertaubat. Setiap kali tampak oleh mereka harta benda dunia itu, mereka pun terperangkap di dalamnya lagi (mengambil harta itu).[5]
Mengenai Firman Allah swt, “Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar?” Ibnu Juraij mengatakan dari Ibnu ‘Abbās: “Yaitu apa yang mereka angan-angankan dari Allah swt, berupa ampunan atas dosa-dosanya, yang mereka senantiasa kembali melakukannya dan tidak bertaubat darinya” Allah swt berfirman “Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” Allah swt menjanjikan bagi mereka pahala yang sangat banyak dan memperingatkan mereka dari siksaan-Nya yang sangat berat. Artinya, pahala dan apa yang terdapat disisi-Ku adalah lebih baik bagi orang yang menjaga diri dari larangan dan meninggalkan hawa nafsunya, serta menuju ketaatan kepada Rabnya.
Lalu Ibnu Kaṡīr menjelaskan kata أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Apakah kamu sekalian tidak mengerti” maksudnya adalah apakah orang-orang yang menukar apa yang ada disisi-Ku dengan harta benda duniawi itu tidak mempunyai akal pikiran yang menjaga mereka dari kebodohan dan kesia-siaan yang mereka lakukan?.[6]
2) Dengan term al-fikr
Maksud firman Allah swt tersebut adalah sesungguhnya yang aku minta dari kalian adalah hendaklah kalian melaksanakan perintah Allah swt itu dengan ikhlas, tanpa sikap fanatik dan keras kepala, baik berdua atau sendiri, berkelompok atau masing-masing. Kemudian berpikirlah tentang orang yang datang kepada kalian dengan membawa risalah dari Allah, apakah ada padanya ketidakwarasan atau tidak. Jika kalian telah melakukan hal itu, niscaya akan tampak oleh kalian bahwa ia adalah Rasul Allah yang sebenar-benarnya. [8]
3) Dengan term tadabbara
Allah swt memerintahkan untuk memikirkan dan memahami al-Qur’an serta melarang berpaling darinya. Allah swt berfirman, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?”, maksudnya bahkan hati mereka dalam keadaan terkunci mati, tidak ada sesuatu pun dari makna al-Qur’an itu yang dapat menembusnya. Ibnu Jarīr meriwayatkan (dia berkata), Basyar memberitahu kami, Hammād bin Zaid memberitahu kami, Hisyām bin ‘Urwah memberitahu kami, dari ayahnya, ia bercerita: “Pada suatu hari Rasulullah Saw pernah membacakan ayat أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا, maka ada seorang pemuda dari penduduk Yaman berkata: “Justru hati-hati itu telah tertutup hingga Allah membuka dan menyingkapnya.” Maka anak muda itu masih tetap teringat dalam hati ‘Umar hingga ia menjadi khalifah dan ia pun memohon bantuannya.”[10]
4) Dengan term az-zikr
Dan dikarenakan al-Qur’an memberikan arahan kepada tujuan-tujaun yang benar dan sumber-sumber rasional yang tepat maka pada ayat ini Allah swt berfirman “Kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran” yaitu orang-orang yang berakal. Kata al-Albāb adalah jamak dari Lubb. Al-Hasan al-Bashri berkata: “Demi Allah, tadabbur bukanlah dengan menghafal huruf-hurufnya namun menyia-nyiakan batas-batasnya hingga salah seorang merka berkata: “Aku telah membaca al-Qur’an seluruhnya, akan tetapi semua itu tidak terlihat sedikitpun Dalam akhlak dan amalannya” (HR. Ibnu Abī Hātim)[12]. Dari hadis tersebut maka pentinglah proses merenungkan kitab yang telah diturunkan oleh Allah swt.
b. Masalah Kosmologis
1) Dengan term ‘aql
إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار والفلك التي تجري في البحر بما ينفع الناس وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها وبث فيها من كل دابة وتصريف الرياح والسحاب المسخر بين السماء والأرض لآيات لقوم يعقلون[13]
Allah swt menciptakan langit dan bumi dalam hal ketinggian, kelembutan dan keluasannya serta bintang-bintang yang bergerak dan yang diam, juga peredaran pada garis edarnya, dataran rendah dan dataran tinggi, gunung, laut, gurun pasir, kesunyian, keramaian dan segala yang terdapat di dalamnya. Pergantian siang dan malam, satu pergi yang lain datang menggantikannya dengan tidak saling mendahului dan tidak sedikitpun mengalami keterlambatan meski hanya sekejap (Qs. Yāsin [36]: 40), terkadang yang satu panjang dan yang lain pendek, terkadang yang satu mengambil bagian yang lain lalu menggantikannya (Qs. al-Ḥajj [22]: 61). Dalam penghamparan laut sehingga bahtera itu dapat berlayar dari satu sisi ke sisi yang lain untuk kepentingan kehidupan manusia dan agar mereka dapat mengambil manfaat dari penduduk suatu daerah ke daerah lain silih berganti. Dan apa yang Allah swt turunkan dari langit berupa air lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah mati (kering)nya. Hewan dalam bermacam-macam bentuk warna dan manfaat kecil dan besar. Dan Dia (Allah) mengetahui semuanya itu dan memberikan rizki kepadanya tidak ada satu pun dari hewan-hewan itu yang tidak terjangkau atau bersembunnyi dari-Nya. Dan terkadang angin itu berhembus dengan membawa rahmat dan terkadang berhembus membawa malapetaka. Terkadang membawa berita gembira dengan menggiring awan tersebut terkadang mengumpulkannya dan terkadang menceraiberaikannya. Terkadang berhembus dari arah selatan terkadang dari arah utara dan terkadang dari arah timur mengenai bagian depan Ka‘bah, terkadang dari arah barat yang mengenai bagian belakang Ka‘bah dan awan yang berjalan di antara langit dan bumi yang diarahkan oleh Allah swt menuju wilayah dan tempat-tempat mana saja yang dikehendaki-Nya. Pada semuanya itu terdapat bukti-bukti yang jelas menunjukan keesaan-Nya.[14] Dan semua itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berakal.
2) Dengan term an-naẓr
Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya tentang kekuasaan-Nya yang agung, lebih besar dari apa yang mereka herankan itu yang mereka nyatakan sebagai peristiwa yang mustahil terjadi dengan firman-Nya: “Maka, apakah mereka tidak memperhatikan akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikan dan menghiasainya dengan bintang-bintang dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun.”[16]
3) Dengan term az-zikr
الله الذي خلق السماوات والأرض وما بينهما في ستة أيام ثم استوى على العرش ما لكم من دونه من ولي ولا شفيع أفلا تتذكرون[17]
Dalam ayat ini Allah swt mengabarkan bahwa dia adalah Maha Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dalam enam hari, kemudian Dia besemayam di atas ‘arsy. Dan Dia pemilik berbagai urusan penting, Maha Pencipta segala sesuatu, pinata setiap sesuatu lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maka tidak ada pelindung makhluk-Nya selain Dia serta tidak ada pemberi syafa’at kecuali setelah mendapatkan izinya. Maka apakah kalian tidak mengingat wahai orang-orang yang beribadah lagi tidak bertawakkal kepada Allah?.[18]
c. Masalah Moralitas
1) Dengan term aż-żikr
يا أيها الذين آمنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستأنسوا وتسلموا على أهلها ذلكم خير لكم لعلكم تذكرون[19]
Ayat ini merupakan adab syar‘i yang Allah swt ajarkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu adab meminta izin. Allah swt memerintahkan mereka agar tidak memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin, lalu mengucapkan salam. Hendaklah ia meminta izin sebanyak tiga kali. Apabila tidak diizinkan, hendaklah ia kembali. Seperti yang disebutkan dalam kitab aṣ-Ṣahīh bahwa ketika Abī Mūsā minta izin sebanyak tiga kali kepada ‘Umar berkata: “Bukankah itu tadi suara ‘Abdullah bin Qais minta izin? Berilah ia izin!” mereka pun mencarinya, lalu mendapatinya telah pergi. Kemudian ketia ia datang, ‘Umar bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu kembali” Abū Mūsā menjawab: “Aku telah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, sedang aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah.” ‘Umar berkata: “Engkau harus membawa saksi atas perkataanmu itu atau kalau tidak, aku memukulmu”. Abū Mūsā pun mendatangi sekelompok Sahabat Anshār dan menceritakan perkataan ‘Umar itu kepada mereka. Mereka berkata: “Cukup orang yang paling muda dari kami yang bersaksi untukmu.” Maka bangkitlah Abū Sa‘īd al-Khudrī dan menyampaikan kepada ‘Umar tentang hadis tersebut. ‘Umar lalu berkata: “Sungguh kesibukan berjual beli di pasar dahulu telah melalaikanku..[20]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik atau dari sahabat lain, bahwa Rasulullah saw meminta izin kepada Sa‘ad bin ‘Ubādah dengan mengucapkan: “Assalamualaikum warahmatullah!” Sa‘ad menjawab: “waalaikassalam warahmatullah,” namun Rasulullah tidak mendengar jawabannya. Hingga beliau mengucapkkan salam tiga kali dan Sa‘ad pun menjawabnya tiga kali juga, namun Rasulullah tidak mendengar jawabannya mereka beliau pun kembali. Sa‘ad mengejar Rasulullah saw lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, ibu dan ayahku jadi tebusan bagi dirimu, tidaklah engkau mengucapkan salam melainkan aku mendengarnya dan aku menjawab salammu, namun aku tidak memperdengarkannya kepadamu. Aku ingin engkau banyak mengucapkan salam kepadaku dan aku mengharapkan berkah darinya” kemmudian aku mempersilahkan beliau masuk dan menghidangkan kismis kepada beliau dan beliau memakannya. Setelah selesai beliau berkata: “Orang-orang saleh telah memakan makanan kalian, para malaikat pun telah mendoakan kalian, dan orang-orang yang berpuasa telah berbuka dengan hidangan kalian.”[21]
2. Fungsi Berpikir
Dan dari ayat-ayat berpikir yang telah dipaparkan sesuai dengan konteks pengelompokannya, baik dari segi teologis, kosmologis, dan moralitas, setiap konteks ayat tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu di antaranya sebagai berikut:
a. Fungsi Spiritual
Akal berfungsi sebagai daya untuk memahami hal-hal yang bersifat ilahiyah dengan bimbingan dan panduan wahyu. Akal dapat disebut sebagai kecerdasan ilahiyah yang menyatukan antara daya pikir dan dzikir.
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب[22]
Allah swt memberitahhukan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat muḥkamāt (jamak dari muḥkam) yang semuanya merupakan pokok-pokok al-Qur’an. Yaitu ayat-ayat yang jelas dan terang pengertiannya, yang tidak ada kesamaran bagi siapa pun.
Selain itu ada ayat-ayat mutasyābihāt (jamak dari mutasyābih) yaitu ayat-ayat yang di dalamya terdapat kesamaran pengertian bagi kebanyakan atau sebagian orang. Maka barang siapa mengembalikan yang samar itu kepada yang jelas dari al-Qur’an, serta menjadikan ayat yang muḥkam sebagai penentu yang mutasyābih, berarti dia telah mendapatkan petunjuk. Dan barang siapa melakukan sebaliknya, maka dia pun akan memetik akibat yang sebaliknya.[23]
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat ini. ‘Alī bin Abī Ṭalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat-ayat muḥkamāt itu adalah ayat-ayat yang menasakh, ayat-ayat mengenai halal dan haram, ḥudūd (hukuman), hukum-hukum, apa yang diperintahkan dan apa yang harus dikerjakan. Dan dikatakan pula mengenai ayat-ayat mutasyābihāt yaitu yang dinasakh, didahulukan, diakhirkan, perumpamaan-perumpamaan, sumpah, dan apa yang harus dipercayai tetapi bukan hal yang diamalkan. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat mutasyābihāt adalah huruf-huruf terpotong di awal-awal surat. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Muqātil bin Ḥayyan.
Dan adapun pendapat yang paling baik menurut Ibnu Katṡīr adalah yang diungkapkan oleh Muhammad bin Isḥaq bin Yasār ketika dia mengatakan مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ “Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muḥkamāt,” maka ayat-ayat muḥkamāt itu adalah hujjah Allah, pegangan bagi hamba, dan penolak bantahan yang batil. Ayat-ayat yang tidak mengenal tashrīf, (penyimpangan makna), dan taḥrīf (perubahan) dari apa yang telah ditetapkan atasnya. Adapun ayat-ayat mutasyābihāt dalam hal kebenaran tidak boleh ada tashrīf, taḥrīf dan takwil di dalamnya. Dengan ini Allah swt menguji hamba-hamba-Nya sebagaimana Dia telah menguji mereka dalam masalah halal dan haram. Agar ayat-ayat tersebut tidak dikesampingkan kepada sesuatu yang batil dan tidak pula dirubah dari kebenaran.[24]
Dan adapun orang yang cenderung kepada kesesatan dan keluar dari kebenaran menuju kepada kebatilan, mereka mengikuti/mengambil ayat-ayat mutasyābihāt saja yang memungkinkan bagi mereka untuk merubahnya kepada maksud-maksud mereka yang rusak, lalu mereka menempatkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan maksud-maksud mereka, dikarenakan lafaznya memiliki kemungkinan kandungan tersebut. Untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah swt. Namun orang-orang yang mendalami ilmu (rāsikhūn) mengatakan :“Kami beriman kepadanya” kemudian mengembalikan takwil-takwil ayat-ayat mutasyābihāt kepada apa yang mereka ketahui dari takwil ayat-ayat muḥkamāt yang mana tidak ada seorang pun yang mentakwil ayat itu kecuali dengan takwil yang sama. Dan yang dapat memahami dan merenungi maknanya hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan mempunyai pemahaman yang benar.[25]
Dan dari sinilah fungsi akal tidak bisa dilepaskan dari unsur ilahiyah yaitu keimanan atas ayat-ayat Allah swt yang berupa ayat muḥkamāt dan mutasyābihāt. Fungsi akal sebagai fungsi spiritual ini bisa disebut juga dengan kecerdasan ilahiyah. Fungsi ini meliputi kecerdasan dalam memahami masalah-masalah keyakinan yang mutlak seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya, hari akhir, qaḍā dan qadar dan hal ghaib, serta ajaran-ajaran agama yang bersifat samawi atau berlandaskan wahyu. Hal-hal tersebut tidak bisa dicapai hanya dengan nalar atau rasio, melainkan dengan bimbingan wahyu juga.
b. Fungsi Rasional
Selain mempunyai fungsi spiritual, akal sebagai unsur penting yang dimiliki oleh manusia juga memiliki fungsi sebagai daya untuk memahami hal-hal yang bersifat rasio yang bisa dijangkau oleh akal saja. Hal-hal yang masih dalam jangkauan akal sebagai rasio (nalar) meliputi topik-topik kosmologi, realitas alam, masalah antropologi atau sosiologis yang akal dapat menalarnya sesuai dengan realitas yang terjadi. Baik tanpa membuat hipotesa lalu melakukan penelitian maupun melalui penelitian sebagaimana telah penulis paparkan di bab III.
Dalam ayat ini Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya atas ayat-ayat-Nya yang agung dan pemberian-Nya yang besar, tentang pengendalian-Nya atas malam dan siang yang saling bergantian. Atas matahari dan bulan yang saling berputar, atas bintang-bintang, baik yang bergerak, maupun yang tetap di sudut-sudut langit. Sebagai sinar dan cahaya agar menjadi petunjuk dalam kegelapan. Dan masing-masing dari itu semua berjalan di atas jalur yang telah ditentukan oleh Allah swt, dengan gerakan yang telah ditentukan yang tidak bisa lebih dan tidak bisa kurang. Semuanya di bawah paksaan, kekuasaan, pengendalian, ketentuan dan kemudahan-Nya. Dan semua itu adalah sebagai bukti atas kekuasaan-Nya yang nyata, dan kerajaan-Nya yang agung bagi kaum yang memikirkan tentang Allah swt dan memahami buktinya.[27]
Terkait dengan fungsi rasionalitas akal, akal manusia dalam taraf ini dapat digunakan semaksimal mungkin untuk memahami kejadian yang terjadi di alam semesta ini yang berhubungan dengan topik kosmologi meliputi astronomi, geologi, arkeologi, geografi, agronomi, botani, zoology entomologi, biologi, sosiologi, metafisika dan lainnya yang semuanya itu merupakan ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an.[28] Yang di dalam al-Qur’an menyebutkan secara umum gambaran keadaan bumi baik dari kejadian alam, bumi, matahari, bulan, siang dan malam, sedangkan manusia sebagai makhluk pemilik akal diharuskan untuk memikirkan semua itu dengan melakukan penelitian untuk membuktikan kejadian alam tersebut serta menguatkan kebenaran al-Qur’an itu.
Dengan adanya realitas manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan akal, maka prinsip-prinsip penelitian ilmiah dalam al-Qur’an adalah merupakan unsur yang dapat mengantarkan manusia kepada kesimpulan yang diharapkan. Kebebasan berpikir merupakan pilar utama dalam riset ilmiah (Qs. Yūnus [10]: 101). Kemudian Allah swt membatasi fenomena-fenomena yang harus dianalisis manusia. Dan ini merupakan prinsip penting dalam melakukan penelitian yaitu pembatasan pokok permaalahan (Qs. al-Baqarah [2]: 164), kemudian Allah swt merincikan kekhususan-kekhususan fenomena-fenomena tersebut hingga memudahkan manusia dalam mengkajinya dan mengambil manfaatnya (Qs, an-Nūr [24]: 43-44).
Sebuah penelitian ilmiah harus didasari oleh argumentasi yang benar-bukan perkiraan, dugaan atau khayalan. Dan Allah swt memperingatkan dan melarang hamba-Nya mendalami sesuatu tanpa ilmu (Qs. al-Isrā’ [17]: 36).[29]
c. Fungsi Dorongan Moral
Allah swt memberikan akal kepada manusia salah satunya adalah agar manusia hidupnya senantiasa dinaungi oleh akal pemikiran. Salah satu fungsi akal adalah untuk menahan manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrahnya dan mengontrol kehidupan manusia baik perkataan, perbuatan maupun sifat yang dimiliki oleh setiap manusia.
Salah satu fungsi akal adalah juga untuk melakukan dorongan moral kepada manusia agar setiap perilaku dan perkataanya sesuai dengan nilai moral yang telah ditetapkan Allah swt di dalam al-Qur’an dan dituntunkan Nabi Saw.
Allah swt bertanya: “Wahai sekalian Ahli Kitab, apakah kalian pantas menyuruh manusia berbuat berbagai kebajikan, sedang kalian melupakan diri sendiri. Kalian tidak melakukan apa yang diperintahkan itu, padahal kalian membaca al-Kitab dan mengetahui kandungannya yang berisi ancaman terhadap orang yang mengabaikan perintah Allah? Apakah kalian tidak memikirkan akibat yang akan menimpa kalian atas perubuatan kalian terhadap diri sendiri, sehingga kalian terjaga dari tidur kalian dan terbuka mata kalian dari kebutaan?”
Abū Darda mengatakan: “Seseorang tidak memiliki pemahaman yang mendalam sehingga ia mencela orang lain karena Allah, kemudian ia mengintropeksi dirinya sendiri, akhirnya ia lebih mencela dirinya sendiri. Yang dimaksud, bukan celaan terhadap usaha mereka menyuruh berbuat kebajikan, sementara mereka meninggallkannya, akan tetapi celaan itu semata-mata karena mereka meninggalkannya, namun yang wajib dan lebih patut bagi seorang ulama adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang ia perintahkan dan tidak menyelisihi mereka.” Sebagaimana kata Nabi Syu’aib as :
وما أريد أن أخالفكم إلى ما أنهاكم عنه إن أريد إلا الإصلاح ما استطعت وما توفيقي إلا بالله عليه توكلت وإليه أنيب[31]
Dengan demikian, amar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan mengamalkannya merupakan suatu kewajiban yang tidak gugur salah satu dari keduanya karena meninggalkan yang lainnya.[32]
d. Sebagai Pembeda antara Hak dan Batil
Manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, dengan akal yang dianugrahkan allah swt. Dengan akal tersebut manusia mempunyai daya pemahaman untuk membedakan antara yang haq dan yang batil.
Dalam ayat ini Allah swt hendak mengkhabarkan tentang kerendahan dunia serta perhiasannya dan keindahan sementara yang dikandungnya, jika dibandingkan dengan nikmat agung dan kekal yang telah dipersiapkan oleh Allah swt untuk hamba-hamba-Nya yang saleh di akhirat, sebagaimana firman Allah ta’ala:بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A‘lā [87]: 16-17) firman Allah swt afalā ta‘qilūn adalah apakah orang yang mengutamakan dunia atas akhirat tidak memahaminya?[34]
Dan Allah swt mengibaratkan orang yang tidak menggunakan akalnya dengan binatang, tidak bisa memfungsikan apa-apa yang telah diberikan oleh Allah, baik mata, telinga, hidung, mulut, akal bahkan htinya. Predikat orang yang seprti ini digambarkan sebagai orang kafir.
Allah swt dalam ayat ini mengumpamakan orang-orang kafir yaitu orang yang mereka sedang tenggelam dalam kesewenang-wenangan, kesesatan, dan kebodohan seperti binatang gembalaan yang tidak memahami dan mengerti apa yang dikatakan kepadanya, bahkan apabila ia diseru penggembalaanya, maka ia tidak memahami ucapan si penggembala itu, dan ia hanya dapat mendengar suaranya saja. Dan mereka tidak mengerti dan memahami apapun.[36] Begitu pula dia (orang kafir) tidak bisa mendengar adanya seruan kebenaran, melihat cahaya petunjuk dan berbicara tentang sesuatu yang benar yang telah diwahyukan oleh Allah swt dan dituntunkan oleh Nabi saw.
[1] Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, antara Neurosains dan al-Qur’an,…hlm. 207.
[2] Aplikasi Zekr
[3] Zekr Open Qur’anic Project versi 1.0 adalah aplikasi pencarian ayat al-Qur’an
[4] Al-A‘rāf [7]: 169.
[5] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid. II, hlm. 237.
[6] Ibid., hlm. 237-238.
[7] Al-A‘rāf [7]: 184.
[8] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid II, hlm. 247.
[9] Muḥammad [47]: 24.
[10] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid IV, hlm. 154.
[11] Ṣād [38]: 29.
[12] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid IV, hlm. 29.
[13] Al-Baqarah [2]: 164.
[14] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid I, hlm. 185.
[15] Qaf [50]: 6.
[16] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid IV, hlm. 190.
[17] As-Sajdah [32]: 4.
[18] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid III, hlm. 408.
[19] An-Nūr [24]: 27.
[20] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid III, hlm. 251-252.
[21] Ibid., hlm. 252-253.
[22] Āli Imrān [3]: 7.
[23] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid I, hlm. 312-313.
[24] Ibid., hlm. 314.
[25] Ibid., hlm. 315-316.
[26] An- Naḥl [16]: 12.
[27] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid II, hlm. 509.
[28] Muhammad Kamil Abdushshamad, Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an, alih bahasa Alimin, Lc, M.Ag dkk., cet. Ke-I, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), hlm. XIX.
[29] Ibid., hlm. 20-23.
[30] Al-Baqarah [2]: 44.
[31] Hūd [11]: 88.
[32] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid I, hlm. 81-82.
[33] Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 60.
[34] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid III, hlm. 355.
[35] Al-Baqarah [2]: 171.
[36] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,…jilid I, hlm. 187-188.
Posted in: Risalah
1 komentar:
panjang banget pak ustad,,,
Posting Komentar