Jumat, 08 Juni 2012

Biografi Ibnu Katsir (Risalah)

BAB II
 IBNU KAṠĪR DAN TAFSĪR AL-QUR’ĀN AL-‘AẒĪM

A.    Latar Belakang Kehidupan
Ibnu Kaṡīr mempunyai nama lengkap ‘Imād ad-Dīn abū al-Fidā’ Ismā‘īl Ibn Ẓarā’ al-Buṣrā ad-Dimasyqī.[1] Nama samarannya Abū al-Fidā’. Ia berasal dari Quraisy dan lahir pada tahun 701 H. di Majdal, sebuah kampung di Wilayah Baṣrā, Syiria.[2] Ibnu Kaṡīr berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya seorang Ulama terkenal di masanya,[3] seorang orator,[4] bernama Syihāb ad-Dīn Abū Ḥafṣāh ‘Amr Ibn Kaṡīr Ibn ḍaw Ibn Ẓarā’ al-Quraisyī, pernah mendalami Mażhab Ḥanafī, kendatipun menganut Mażhab Syāfi‘i setelah menjadi khatib Baṣrā.[5]
Dalam usia anak-anak, setelah ayahnya meninggal, Ibnu Kaṡīr diboyong kakanya, Kamāl ad-Dīn ‘Abd al-Wahhāb, dari desa kelahirannya ke Damaskus. Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya. Karena kepindahan ini, diletakkan predikat ad-Dimasyqī (orang Damaskus) kepadanya.
Hal yang sangat menguntungkan bagi Ibnu Kaṡīr dalam pengembangan karir keilmuannya, adalah di masa pemerintahan Dinasti Mamlūk.[6] Di saat ia hidup, pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama-ulama ternama masa ini, yang akhirnya menjadi tempat menimba ilmu sangat baik bagi Ibnu Kaṡīr.[7]
Ibnu Kaṡīr juga banyak terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini, pada akhir tahun 741 H. ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mari atas seorang sufi Zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya (ḥulūl). Tahun 752 H. ia berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibugah ‘Urus, masa khalifah al-Mu’tadid. Bersama ulama lainnya, pada tahun 759 H. ia pernah diminta Amir Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijakan dalam memberantas korupsi, dan beberapa peristiwa kenegaraan lainnya.[8]
Selama hidupnya Ibnu Kaṡīr didampingi seorang istri yang bernama Zainab, putri al-Mizzī yang masih terhitung sebagai gurunya. Beliau wafat pada hari kamis 26 Sya’ban 774 H., bertepatan dengan bulan Februari 1373 M.[9]

B.     Aktifitas Pendidikan Dan Keilmuan
Sejak kepindahan Ibnu Kaṡīr bersama kakanya ke Damaskus tahun 707 H., ia mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh kakaknya, Kamāl ad-Dīn ‘abD al-Wahhāb. Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalalni di bawah bimbingan ulama ternama di masanya.[10]
Guru utama Ibnu Kaṡīr adalah Burhān ad-Dīn al-Farazī (660-729 H.), seorang ulama pengikut Mażhab Syāfi‘ī dan Kamāl ad-Dīn Ibn Qāḍī Syuhbah. Kepada keduanya ia belajar fiqh, dengan mengkaji kitab at-Tanbīh karya asy-Syirāzī, sebuah kitab furu’ Syāfi‘iyyah dan kitab Mukhtasar Ibn Ḥājib dalam bidang ushul fiqh. Berkat keduanya Ibnu Kaṡīr menjadi ahli fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalam persoalan-persoalan hukum.[11]
Dalam bidang hadis, ia belajar dari ulama Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwānī, serta meriwayatkan secaera langsung dari Ḥuffāż terkemuka di  masanya, seperti Syeikh Najm ad-Dīn Ibn al-‘Asqalānī dan Syihab ad-Dīn al-Ḥajjār (w. 730 H.) yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn asy-Syahnah.[12] Kepada al-Ḥāfiz al-Mizzī (w. 742 H.) penulis kitab tahżib al-Kamāl, ia belajar bidang Rijāl al-Ḥadīs.[13] Beliau juga pernah berguru pada aż-Żahabī (Muhammad bin Muhammad, 1284-1348 M.) di Turba Umm Sālih. Pada tahun 756H./1335 M. ia diangkat menjadi kepala Dār al-Ḥadīṡ al-Asyrāfiyyah (Lembaga Pendidikan Hadis), setelah Hakim Taqiy ad-Dīn aṣ-Ṣubḥī meninggal dunia. Berkaitan dengan studi hadis, pada bulan Sya’ban 766 H. beliau ditunjuk mengorganisasi pengajian Sahih al-Bukhārī.[14]
Dalam bidang sejarah, Ibnu Kaṡīr banyak dipengaruhi oleh al-Ḥāfiz al-Birzalī (w. 739 H.), sejarawan dari kota Syam. Berkat al-Birzalī dan tarikhnya, Ibnu Kaṡīr enjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah islam.[15]
Pada usia 11 tahun beliau telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an, dilanjutkan memperdalam Ilmu Qiraat,[16]studi tafsir dan ilmu tafsir, dari Syaikh al-Islm ibn Taimiyyah (661-728 H.),[17]di samping ulama lain.
Dari berbagai disiplin ilmu yang digelutinya, banyak sekali gelar yang disandangnya antara lain:
1.      Al-Ḥāfiz, yaitu orang yang mempunyai kapasitas hafalan 100.000 hadis matan maupun sanad, walaupun dari berapa jalan, mengetahui hadis sahih serta tahu istilah ilmu itu.[18]
2.      Al-Muḥaddis, yaitu orang yang ahli mengenai hadis riwāyah dan dirāyah, mengetahui cacat dan tidaknya, mengambil dari imam-iammnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya.[19]
3.      Al-Fāqih, yaitu gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam hukum Islam (fiqh), namun tidak sampai ke tingkatan mujtahid. Ia menginduk pada suatu mażhab, akan tetapi tidak taqlīd.
4.      Al-muarrikh, yaitu orang yang ahli dalam bidang sejarah.
5.      Al-mufassir, yaitu orang ynag ahli dalam bidang tafsir, menguasai perangkat-perangkatnya yang berupa ‘Ulūm al-Qur’ān dan memenuhi syarat-syarat mufassir.
Beberapa ulama yang memberikan gelar terhadap Ibnu Kaṡīr, di antaranya adalah al-Qaṭṭān:
“…Ibnu Kaṡīr adalah pakar fikih yang terpercaya, pakar hadis yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang sempurna.”[20]
Muḥammad Ḥusain aż-Żahabī juga mengatakan:
“Ibnu Kaṡīr telah menduduki posisi yang sangat tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama menjadi saksi terhadap keluasan ilmunya, penguasaan materinya, khususnya dalam bidang tafsir, hadis dan tarikh.”[21]

C.    Karya-Karya Ibnu Kaṡīr
Ibnu Kaṡīr merupakan ulama yang produktif dalam memberikan dan dipelajari kembali.
Karya-karya itu mencakup berbagai disiplin ilmu, antara lain bidang tafsir, hadis, fikih, sejarah dan al-Qur’an. Dari berbagai disiplin ilmu yang ia kuasai menunjukan keluasan ilmu yang ia  miliki.
1.      Bidang Fikih
a.      Kitab al-Ijtihād fī Ṭalab al-Jihād
Ditulis tahun 1368-1369 M. Kitab ini ditulis untuk menggerakan semangat juang dalam mempertahankan partai Libanon-Syiria dari serbuan raja Franks di Cyprus. Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn Taimiyyah, as-Siyāsah as-Syar‘iyyah.
b.      Kitab Ahkām. Yaitu fikih didasarkan pada al-Qur’an dan hadis.
c.       Al-Ahkām ‘Alā Abwāb at-Tanbīh yang merupakan komentar dari kitab at-Tanbīh karya asy-Syairazī.
2.      Bidang Hadis
a.       At-Takmīl fī Ma’rifat aṡ-Ṡiqāt wa aḍ-Ḍu‘afā’ wa al-Majāhil (5 jilid). Merupakan perpaduan dari kitab Tahżīb al-Kamāl karya al-Mizzī dan Mīzān al-I‘tidāl karya aż-Żahabī (w. 748 M.) berisi riwayat-riwayat perawi-perawi hadis.
b.      Jāmi‘ al-Asānīd wa as-Sunan (8 jilid), berisi tentang para sahabat yang meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan dari Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, al-Bazzār dan abū Ya‘lā serta Mu‘jam al-Kabīr.
c.       Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīs yang merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah ibn Salāh (w. 642 H./1246 M.)
d.      Takhrīj Ahādīs Adillah at-tTanbīh li ‘Ulum al-Ḥadīṡ atau dikenal dengan al-Bāhiṡ al-Ḥadīṡ yang merupakan takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syairazī dalam kitabnya at-Tanbih.
e.    Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī yang merupakan kitab tafsiran (penjelas) dari hadis-hadis Bukhārī. Kitab ini tidak selesai penulisannya, tetapi dilanjutkan oleh Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī (952 H. atau 1449 M.)
3.      Karya-karya dalam Bidang Sejarah
a.       Al-Bidāyah wa an-Nihāyah (14 jilid). Kitab ini isinya memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Sejarah, dalam kitab ini dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, sejarah kuno yang menuturkan riwayat mulai dari awal penciptaan manusia sampai kenabian Muhammad saw. Kedua, sejarah Islam mulai dari dakwah Nabi saw di Makkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.
b.      Al-Fuṣūl fī Sīrah ar-Rasūl atau as-Sīrah an-Nabawiyyah.
c.       Tabaqāt as-Syāfi‘iyyah.
d.      Manāqib al-Imām asy-Syāfi‘ī.
4.      Karya-karya dalam Bidang Tafsir dan Studi al-Qur’an, yaitu:
a.       Faḍā’il al-Qur’ān, berisi tentang ringkasan sejarah al-Qur’an. Pada beberapa terbitan, kitab ini ditempatkan pada halaman akhir tafsir Ibnu Kaṡīr, sebagai penyempurna.
b.      Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Kaṡīr. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid pada tahun 1342 H./1933 M. di Kairo.[22]

D.    Karakteristik Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm
Tidak diragukan lagi bahwa ada bermacam-macam jenis tafsir yang berbeda-beda. Pada umumnya perbedaan ini terletak dalam pendekatan dan aspek tertentu. Ada jenis tafsir yang menekankan aspek filologis (bahasa) dan harfiah dari naskah al-Qur’an. Jenis yahng lain memusatkan perhatian pada arti dan kandungannya. Ada pula tafsir yang sebagian besar didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan perkataan (qaul) para sahabat dan tabi‘in. Jenis tafsir lainnya adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan akal atau ijtihad sebagai alat untuk memahami makan-makna al-Qur’an.
Pada baigan ini, penulis akan membahas tentang karakteristik penafsiran Ibnu Kaṡīr,[23] terutama yang tertera dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Karakteristik ini dapat diidentifikasi lewat sistematika penafsiran, metode penafsiran, teknik, dan corak aliran penafsiran.[24] Dengan demikian, karakteristik penafsiran Ibnu Kaṡīr dapat berarti ciri khas tertentu yang ikut mewarnai dan digunakan Ibnu Kaṡīr dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
1.      Sistematika Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm
Sistematika yang ditempuh Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat-demi surat, dimulai dengan surat al-fātiḥah dan diakhiri dengan surat an-Nās. Maka secara sistematika, tafsir ini menempuh Tartīb Muṣḥafī.
Mengawali penafsirannya, Ibnu Kaṡīr menyajikan sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubugan dalam tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munāsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam Tartīb Muṣḥafī. Dengan begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munasābah antar ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’an serta yang penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa keluar dari maksud nas.
Dari cara tersebut, menunjukan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibnu Kaṡīr dalam memahami munāsabah dalam urutan ayat, selain munāsabah antar ayat (tafsīr al-qur’ān bi al-qur’ān) yang telah diakui kelebihannya oleh para peneliti.
2.      Metode Penafsiran
Kitab suci al-Qur’an menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu, dan pemadu gerakan-gerakan Islam sepanjang sejarah pergerakan umat.[25]
Jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui upaya penafsiran mempunyai peranan yang signifikan, lahirnya bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran para mufassir.
Para mufassir dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, menggunakan satu atau lebih metode,[26] berdasarkan keahlian dan kecenderungannya masing-masing. Metode penafsiran diartikan sebagai suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik, untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[27] Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa metode penafsiran berisikan seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat al-Qur’an.[28]
Untuk mengetahui metode apa yang dipakai Ibnu Kaṡīr, perlu kiranya melihat secara sekilas tentang perkembangan metode penafsiran al-Qur’an. Memperhatikan perkembangan metode penafsiran terutama yang muncul sebelum masa Ibnu Kaṡīr, akan sangat membantu dalam melacak bagaimana Ibnu Kaṡīr menafsirkan al-Qur’an.
Dalam perkembangan dunia penafsiran, secara umum metode penafsiran dibagi menjadi empat macam. Pertama, metode Taḥlīlī,[29] kedua, metode Ijmālī,[30] ketiga, metode muqāran (komparatif)[31] dan keempat, metode Mauḍū‘ī, (tematik). Upaya mengklasifikasi penafsiran semacam ini juga bervariasi di kalangan para pemerhati tafsir.
Muḥammad as-Sayyid Jibril,[32] membuat klasifikasi tafsir berdasarkan beberapa kategori. Kategori pertama berdasarkan sumber-sumber penafsiran. Kedua, berdasarkan pemaparan dan teknik penyajian penafsiran, dan ke tiga, berdasarkan keumuman dan kekhusussan mażhab yang dianut oleh penafsirnya.
 Berbeda juga klasifikasi yang dilakukan oleh Muhammad Bāqir as-Ṣadr, dalam melihat metode pendekatan penafsiran. Ia membagi kepada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan analitis (al-Ittijāh at-Tajzī‘ī) dan pendekatan sintesis atau tematik (al-Ittijāh at-Tauhīdī au Mauḍū‘ī)[33]
Sehubungan dengan bermacam-macam metode dan kategori penafsiran tersebut di atas, maka akan terlihat bagaimana metode penafsiran Ibnu Kaṡīr. Berdasarkan kajian sementara terhadap penafsiran-penafsiran Ibnu Kaṡīr, khususnya dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, penulis menangkap bahwa Ibnu Kaṡīr cenderung menempuh dalam penafsirannya dengan menggunakan metode Taḥlīlī.
Dalam Tafsir Ibnu Kaṡīr, aspek arti kosakata dan penjelasan arti tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek  tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu. Atau kadang pada suatu ayat, suatu lafal dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafal yang lain dijelaskan arti globalnya karena mengandung term (istilah), bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu pada ayat-ayat lainnya. Misalnya, ketika menafsirkan kalimat (hudan li al-muttaqīn) dalam surat al-Baqarah ayat 2, menurut Ibnu Kaṡīr hudan di sini adalah sifat diri al-Qur’an itu sendiri, yang dikhususkan bagi muttaqīn dan mu’minīn yang berbuat baik. Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasannya tersebut yaitu dalam Qs. Fuṣṣilat [41]:44, Qs. al-Isrā’ [17]: 82, Qs. yūnus [10]: 57.[34]
3.      Corak Penafsiran
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Ibnu Kaṡīr menggunakan penjelasan dari al-Qur’an itu sendiri (tafsīr al-Qur’ān bi al-qur’ān), atau berdasarkan penafsiran dari Nabi, dan menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat (qaul) para sahabat atau tābi‘īn.[35]
Oleh karena itu, Tafsīr Ibnu Kaṡīr dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir yang memakai corak ma’ṡūr. Penetapan ini karena yang mendominasi tafsir ini adalah penafsiran dengan unsur-unsur aṡār sebagaimana definisi di atas. Adapun unsur aṡār yang mendominasi tafsir ini yaitu:
a.       Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an.
b.      Sunnah (hadis)
c.       Pendapat sahabat.
d.      Pendapat tābi‘īn
4.      Nuansa Tafsir al-Qur’an al-‘Aẓīm
Tafsīr Ibnu Kaṡīr mengandung beberapa nuansa penafsiran. Hal ini disebabjan karena pribadi Ibnu Kaṡīr sendiri selain sebagai mufassir juga sebagai muarrikh, dan ḥāfiẓ. Latar belakang keilmuan itu terbawa dalam analisis ayat yang sedang ditafsirkan. Adapuun nuansa tafsir yang dimaksud antara lain:
a.       Nuansa Fikih
Dalam Tafsīr Ibnu Kaṡīr dapat ditemui beberapa penafsiran terhadap ayat-ayat hukum yang dijelaskan secara luas dan panjang lebar, dengan dilakukan istinbāṭ (mengeluarkan hukum) dan tarjīh terhadap pendapat-pendapat tertentu. Dalam tarjīh ialah melakukan analisis terhadap dalil yang dipakai (istidlal), dengan bersikap secara netral.
Misalnya tentang kasus bilangan talak menurut syara’. Dalam surat al-Baqarah ayat 230, Ibnu Kaṡīr mengupas dan menjelaskan tentang bekas suami yang tidak dapat kembali kepada bekas istrinya, sebelum bekas istri itu kawin lagi dengan orang lain hinga bersetubuh, kemudian diceraikan oleh suaminya yang baru itu. Sementara orang yang berkilah dengan meminta kepada orang lain untuk menjadi muḥallil (penghalal). Ibnu Kaṡīr menegaskan bahwa pekerjaan itu diaknat Allah swt dan rasul-Nya yang berarti perkawinan itu batal.
Ibnu Kaṡīr menafsirkan ayat ini dari segi bagaimana status perceraian satu atau dua kali bila bekas istri kemudian kawin lagi dengan orang lain, setelah masa iddahnya habis. Ibnu Kaṡīr menyebutkan dua pendapat. Pertama, pendapat maẓhab Mālikī, as-Syāfi‘ī dan Ibn Ḥanbal, bahwasanya perceraian itu tetap dihitung, dan bila ia kembali nikah dengan istrinya, maka perceraian yang pernah terjadi itu harus dihitung pertama. Kedua, menurut maẓhab Abū Ḥanīfah, bahwasanya perceraian yang pernah terjadi itu tidak dihitung lagi dalam perkawinan tersebut.[36]
b.      Nuansa Ra’yu
Maksud dari nuansa ra’yu di sini yatu bahwa Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya melakukan penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad. Ia memahami kalimat-kalimat al-Qur’an dengan jalan memahami maknanya yang ditunjukkan oleh pengetahuan Bahasa Arab dan peristiwa yang dicatat oleh seorang ahli tafsir.[37]
Beberapa hal berkenaan dengan penggunaan ra’yu dalam Tafsīr Ibnu Kaṡīr, dapat disampaikan rincinya sebagai berikut:
1)      Menentuakan ayat mana menafsirkan ayat mana.
Di samping riwayat tafsir ayat yang dikutip, Ibnu Kaṡīr melakukan sendiri penafsiran ayat dengan ayat. Dibandingkan penafsiran yang lain, penafsiran yang dilakukannya lebih luas dan banyak. Kenyataan ini membuktikan bahwa tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an itu pada hakekatnya tetap melibatkan ra’yu. Perannya yaitu pada usaha meneliti ayat mana menjelaskan ayat mana, dan keluasan dan tidaknya penafsiran sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masng-masing mufassir.
2)      Memilih dan menyeleksi riwayat-riwayat, baik dari Rasulullah, sahabat maupun tābi‘īn untuk menafsirkan al-Qur’an. Proses seleksi ini tentu pada ra’yu.
3)      Menerangkan maksud ayat demi ayat, baik secara global maupun terperinci dengan bantuan ilmu Bahasa Arab (naḥwu, ṣarf dan lain sebagainya), ‘Ulūm al-Qur’ān, Asbāb an-Nuzūl, Makkī, Madanī, Nāsikh mansukh, hadis dan ‘Ulum al-Ḥadīs, Ushūl Fiqh dan ilmu-ilmu lain.[38]
c.       Nuansa Kisah
Pada Tafsīr Ibnu Kaṡīr tampak usaha untuk menerangkan ayat-ayat yang bertutur tentang kisah, dan juga menambahkan pada kisah tertentu kisah yang bersumber dari ahli kitab yaitu Isrāilliyyāt dan Naṣrāniyyat. Kisah-kisah dalam Tafsīr Ibnu Kaṡīr mencakup:
1)      Kisah para Nabi dan umatnya
2)      Kisah orang-orang masa lalu yang tidak jelas kenabiannya
3)      Kiah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah.
Berkaitan dengan kisah ini, Ibnu Kaṡīr mengambil sumber penafsiran dan penjelasannya dari ayat-ayat lain (tafsir ayat dengan ayat), hadis dan juga dari penuturan ahli kitab yang berupa Isrāilliyyāt dan Naṣrāniyyat.[39]
d.      Nuansa Qiraat
Keberadaan Ibnu Kaṡīr sebagai ahli qiraat, ikut memperkaya nuansa tafsirnya. Yakni menerangkan riwayat-riwayat al-Qur’an dan qiraat-qiraat yang diterima dari ahli-ahli qiraat terpercaya. Dalam penyampaiannya, Ibnu Kaṡīr selalu bertolak pada qiraah sab‘ah dan Jumhur Ulama, baru kemudian qiraah-qiraah yang berkembang dan dipegangi sebagian ulama dan qiraah syaẓẓah.
Contoh qiraah pada ayat 5 surat al-fātiḥah.
 [40] إياك نعبد وإياك نستعين
Terhadap yang membaca (iyyāka), tanpa tasydid pada huruf ya’-nya, yaitu yang dibaca ‘Amr ibn Fayyād, Ibnu Kaṡīr berkomentar bahwa bacaan ini adalah syaẓ dan tertolak, karena (iyā) artinya sinar matahari.[41]


[1] Aż-Żahabī, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Mesir: Maktabah Wahbah, t.t.) , jilid I, hlm. 242.

[2] Abū al-Ḥasan ‘Alī an-Nadwī, Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah, alih bahasa Muhammad Qadirun Nur, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 318.

[3] Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 32.

[4] Abū al-Ḥasan ‘Alī an-Nadwī, Syaikh al-Islām,…hlm. 41.

[5] Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah,…hlm. 32.
[6] Kata Mamlūk berassal dari Bahasa Arab yang berarti bdak belian, yaitu budak-budak yang berasala dari Kaukakus, daerah perbatasan Turki-Rusia. Dinasti Mamlūk berkuasa di Mesir tahun 1250-1517 M., dengan 47 Sultan Mamlūk. Pendiri dinasti ini adalah Baybars dan ad-Dīn Aibak, yang melakukan kudeta terhadapdinasti Ayyubiyah. Lihat: Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), jilid III, hlm. 145-149.

[7] Ulama-ulama besar yang hidup pada Dinasti Mamlūk, karya dan wafatnya, selanjutnya lihat: Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, jilid XIII dan XIV.

[8] Ibid.

[9] Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hlm. 38.
[10] Ibid., hlm. 39.

[11] Ibid., hlm. 39.

[12] Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah,…jilid XIV, hlm. 149-150.

[13] Ibid., hlm. 191-192. Rijāl al-Ḥadīṡ adalah ilmu tentang hal-ihwal para rawi dan sejarah kehidupannya dari golongan sahabat, tabi‘īn, Tābi’ at-Tābi‘īn. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtiṣār Musṭalah al-Hadis, (Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1981), hlm. 245.

[14] Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif,…hlm. 40.

[15] Ibid., hlm. 40.

[16] Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah,…jilid XIV, hlm. 312.

[17] Mannā‘ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyād: al-‘Aṣr al-Ḥadīṡ al-‘Arabiiyyah, 1973), hlm. 365.

[18] Muḥammad ‘Ajjāj al-Khāṭib, Uṣūl al-Ḥadīṡ, (Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H.), hlm. 448. 

[19] Ibid., hlm. 448.

[20] Mannā‘ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm,…hlm. 386.

[21] Muhammad Ḥusain aż-Żahabī, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Beirut: Dār al-Fikr), hlm. 243.
[22] M. Ghufran, Pengaruh Pemikiran Ibn Taimiyyah Terhadap Tafsir Ibn Kaṡīr, Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, (1999), hlm. 19-22. 

[23] ‘Karakteristik’ berasal dari bahasa inggris, “characteristic” berarti sifat yang khas, sedangkan dalam kamus Ilmiah Populer, ‘karakteristik’ diartikan sebagai cirri khas atau bentuk atau watak atau karakter yang dimiliki oleh setiap individu, corak tingkah laku, tanda khusus. Lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 108. Bandingkan denggan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka, 1994), hlm. 306.

Sedangkan ‘tafsir’, berasal dari Bahasa Arab ‘al-fasr’ yang berarti ‘al-‘Īḍāh, at-tabyīn (penjelasan)’. Sedang menurut istilah, ‘tafsir’ adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi petunjuknya atas apa yyang dimaksud oleh Allah, berdasar kemampuan manusia. Muḥammad ‘Abd al-‘Aẓīm az-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-fikr, 1998), hlm. 3

[24] Metode penafsiran dimaksudkan, apakah penafsiran yang ada mempergunakan metode penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan ayat, atau ayat dengan semata-mata ra’yu (pemikiran). Teknik penafsiran memperlihatkan apakah penafsiran itu diawali dengan menjelaskan rti kosakata, kemudian menerangkan arti global serta diakhiri dengan penjelasan secara rinci, sedang corak aliran penafsiran menunjukkan aliran (paham teologi) yang dianut penafsir al-Qur’an, apakah aliran liberal atau aliran tradisional. Lihat M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Indonesia Abad 20 dalam ‘Ulūm Al-Qur’ān, Vol. III, 1992, hlm. 50-51.  
[25] Hasan Hanafi, al-Yamin wa al-Yassar fī al-Fikr al-Islam, sebagaimana dikutip oleh M. Quraisy Shihab, Membumikann al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 83.

[26] Metode berasal dari kata “method”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, method, dikenal dengan metode yang artinya ‘cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang dimaksud’. Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 580-581.
 
[27] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 2.

[28] Ibid., hlm. 3.

[29] Metode Taḥlīlī adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana tersusun dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata disertai penjelasan arti kata secara glonal, mengemukakan munāsabah (korelasi) ayat, serta menjelaskan hubungannya. Penafsir membahas pula asbāb an-nuzūl (latar belakang turunnya ayat) dan dalil yang berasal dari Nabi, sahabat, atau tabi’in, yang bterkadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir. ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Metode Tafsir Mauḍū‘ī, Suatu pengantar, alih bahasa Suryan A. Jamrah (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 12.

[30] Metode Ijmālī adalah suatu metode yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Ibid., hlm. 29.

[31] Metode muqaāran adalah suatu metode tafsir yang menekankan kajiannya pada aspek perbandingan tafsir al-Qur’an. Penafsir yang menggunakan metode ini pertama sekali menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka. Melalui cara ini, penafsir akan mengetahui posisi dan kecenderungan para mufassir sebelumnya. Lihat Ibid.

[32] Beberapa kategori tafsir menurut Muhammad as-Sayyid Jibril berdasarkan sumber penafsiran adalah: tafsir al-Ma’ṡūr  dan tafsir ar-Ra’y. Berdasarkan teknik penyajian adalah: tafsir Taḥlīlī dan Ijmālī, berdasarkan sifat tema adalah: tafsir ‘Ām dan Khāṣ. Dan berdasarkan aliran Mażhab adalah tafsir Syīah, tafsir Mutazilah dan tafsir al-Isy‘ārī. Baca Muhammad as-Sayyid Jibril, Madkhal ilā Manāhij al-Mufassirīn, (Kairo: ar-Risālah, 1987), hlm. 9-10.
[33] Muḥammad Bāqir aṣ-Ṣadr, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Al-Qur’an, dalam ‘Ulūm Al-Qur’an, terj., Vol. I/1990, hlm. 28-29.
[34] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, cet. Ke-2, (Beriut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyah, 2008), jilid. I, hlm. 46.

[35] Muhammad as-Sayyid Jibril, Madkhal ilā Manāhij,…hlm. 88.
[36] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,..jilid I, hlm. 249.

[37] Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif,…hlm. 69.
[38] Ibid., hlm. 70-71.

[39] Ibid., hlm. 72.

[40] Al-Fātihah [1]: 5.

[41] Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,..jilid I, hlm. 28-29 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes