RESUME BUKU
THE CONCEPT OF
STATE AND LAW IN ISLAM
CHAPTER IV (HLM. 29-37)
BY: FAROOQ
HASSAN
Dalam menganalisis
dan menguji hukum negara
dalam Islam, perlu dilihat
dahulu pandangan hukum
filosofi barat yang mempunyai
gagasan berbeda-beda. Di antara teori-teori
yang dibangun diatas landasan-landasan gagasan ini,
ada pengaruh
yang kuat dari Bentham (1748-1832) yang memunculkan 3 mazhab:
1.
Mazhab Analitik (Mazhab Positif)
atau Imperatif dengan pencetusnya John Austin yang sangat terkenal.
2.
Di Benua Eropa muncul mazhab-mazhab sejarah di bawah Hegel
yang melihat hukum secara berbeda (mazhab history), dan demikian juga
konsepsinya tentang negara yang secara mendasar berbeda dari konsep penganut
teori positif.
3.
Dari dua mazhab di atas juga terdapat Mazhab Alam.
Tiga cara dalam
membangun teori tentang negara.
1.
Dengan mengkaji
fungsi sebenarnya dari negara sebagaimana ilmuan politik melihat
bagaimana negara berjalan secara nyata.
2.
Pandangan ideal tentang bagaimana seharusnya sebuah Negara seperti
dalam filsafat politik negara itu
sebaiknya seperti apa. Atau dasar
teoritis pendekatan ahli-ahli hukum mengenai negara.
3.
Teori Yuristik Negara, bukan dimaksudkan untuk menyajikan
gambaran yang komplit tentang berkerjanya negara secara aktual, melainkan
menyajikan konsepsi-konsepsi yang disekitarnya teori hukum dibangun. Khususnya mengkaji tentang hubungan hukum dengan Negara, mengajukan
pertanyaan apakah hukum public adalah benar-benar hukum?, bisakah seorang warga negara mempunyai hak-hak hukum terhadap
negara?.
Tiga
Teori Yuristik utama mengenai hubungan negara dan hokum:
1.
Negara lebih tinggi (dulu) dari
hukum dan lebih berhak menciptakan
hokum.
2.
Hukum lebih dahulu (tinggi) dari negara
ketika negara ini muncul.
3.
Hukum dan negara itu sama namun dilihat
dari sudut pandang yang berbeda.
Teori pertama mazhabnya John Austin menunjukkan bahwa hukum adalah perintah
dari penguasa yang berwenang (karena pada saat itu kekuasaan tertinggi adalah
raja). Namun dalam mengukur kekuasaan itu, John Austin membuat ukuran nyata yang berlaku dalam masyarakat.
1.
Harus ada masyarakat politik dengan jumlah yang cukup,
dan seorang penguasa tertinggi yang biasanya dipatuhi oleh sejumlah besar
anggota dari masyarakat tersebut sementara penguasa yang lain tidak dipatuhi.
2.
Penguasa tertinggi memiliki kekuasaan yang berwenang yang bisa
membuat hukum. Oleh karenanya, hubungan antara rakyat dan kekuasaan adalah hubungan
kekuasaan.
3.
Penguasa yang berewenang bisa tidak mempunyai hak-hak
hukum, juga tidak bisa diikat dengan kewajiban hukum. Karena hubungan hukum
hanya bisa ada di antara dua kelompok di mana di atas mereka ada penguasa yang
akan menjalankan aturan hukum.
Dan dari adanya fakta di atas, hukum
tata negara harus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1.
Hukum hanya menjadi kaedah-kaedah akhlak yang berlaku, yang
dijalankan oleh sanksi-sanksi moral itu sendiri.
2.
Hukum tata negara itu menjadi hukum positif yang mengikat
pribadi-pribadi dari lembaga hukum. Dan jika kekuasaan hanya terdiri dari satu orang saja maka hukum tata
negara hanyalah sebagai kaedah moral saja.
Teori
kekuasaan yang berfungsi sebagai teori formal, berusaha
membenarkan bahwa kekuasaan adalah sesuatu kebutuhan moral. Sebagaimana para Hegelians mengatakan bahwa hukum merupakan nilai moral tertinggi, sehingga negara harus mencakup segala
kebutuhan dari kehidupan sosial. Teori ini memberikan pembenaran atas negara
yang absolut. Negara adalah ide ketuhanan yang ada di bumi seperti doktrin Nazi
dan konsep orang fasis yang menganggap bahwa hukum itu hanya sebagai
keinginan/kehendak pemimpin. Namun, karena menurut Islam negara tunduk pada
hukum syariat, dan negara dibuat dari hukum tersebut, maka teori ini tidak
cocok bila negara totaliter, negara Islam atau sebaliknya menggunakan consep
ini.
Dan dari analisis di atas
hanya menunjukkan arti penting mazhab
Austin dalam urusan kontemporer saja. Terutama
dengan kekuasaan tertinggi dalam eksekutif negara, di mana
kekuasaan eksekutif ini merupakan satu kesatuan Yurisprudensi,
yang secara mendasar teori bertentangan
dengan hukum Islam. Karena hukum positif hanyalah hukum yang dibuat oleh orang sedangkan hukum
alam bagi Islam adalah hukum yang dibuat oleh Allah, sementara yang tidak
percaya tuhan, maka hukum alam adalah aturan hukum yang bersifat norma abadi
dan universal.
Teori
kedua (sebagaimana telah kami sebutkan di atas) memandang bahwa hukum lebih
mendasar (lebih penting) lebih mendasar dan mendahului negara. Oleh karena itu hukum bisa saja mengikat negara.
Secara mendasar, teori ini mirip dengan konsepsi Islam mengenai asal
ketuhanan dari kebanyakan hukum-hukum Islam. Pada abad pertengahan, Bahkan seorang hakim kerajaan seperti Bracton
tanpa takut-takut menyatakan bahwa raja di ikat oleh hukum. Teori konstitusi modern juga berusaha
untuk mengikat pemerintah dengan membuat sebuah hukum yang lebih tinggi yang
hanya bisa diamandemen dengan referendum.
Teori ketiga sebagaimana digambarkan oleh Kelsen menganggap bahwa hukum dan
negara benar-benar sama. Negara hanya tatanan hukum dilihat dari sudut pandang
lain. Individu manusia sendiri dapat bertindak, dan
kekuatan hukum diperhitungkan pada perilaku manusia hanya jika sesuai dengan
aturan hukum. Tapi pentingnya praktis dari pendekatan Kelsen adalah bahwa dia
menekankan bahwa hukum adalah gagasan yang lebih mendasar dari negara. Meskipun benar bahwa hukum tidak dapat ada tanpa sebuah tatanan
hukum, agar dapat mengambil bentuk lain dari itu negara. Oleh karena itu, teori
ini lebih luas dan karena itu lebih dapat diterima daripada Austin.
Dari uraian para pemikir Barat mengenai filsafat negara, beberapa pemikiran
itu telah menimbulkan perbedaan penjelasan mengenai subjek dan fenomena yang
sama yang menunjukkan sulitnya problem negera.
Menurut ilmu politik
dan hukum -sebagaimana
dikatakan Oppenheim- sepakat bahwa negara memiliki 4 unsur:
1.
Territorial
2.
Populasi
3.
Organisasi
4.
Kedaulatan.
Dengan
memperhatikan
4 unsur ini, Negara Islam dengan negara-negara lainnya dapat antara lain:
1.
Kedaulatan negara di bawah
kekuasaan Tuhan. Lebih jauh lagi negara
tidak memiliki kedaulatan
2.
Beberapa badan negara tidak memiliki kekuataan tertinggi karena dibatasi oleh kekuasaan Tuhan
3. Penekanan terhadap definisi
batas territorial tidak terlalu penting.
Dasar
Islam telah ditentukan oleh Nabi Muhammad saw dan
dilanjutkan oleh periode Khulafa’ ar-Rasydin.
Problem-problem yang semakin kompleks telah mengubah dan memfariasikan
cara-cara tertentu dalam kenegaraan. Meski demikian terdapat nilai-nilai yang
masih tetap seperti persamaan, keadilan, dan toleransi, tetapnya semua nilai
dasar ini berlaku sampai masa setelah Khulafa’ ar-Rasydin.
Akan
tetapi, lantaran di Eropa telah berlaku sistem
pemerintahan feodalisme dan monarki, maka meski terdapat negara-negara atau
hukum-hukum Islam, di Eropa tetap tertutup dari 4 unsur dasar negara Islam. Perubahan yang paling mendalam adalah
berakhirnya kekerajaan dan teori hukum yang terkait
dengan sistem
monarki.
Dan meskipun telah dinyatakan bahwa dalam Negara Islam, kedaulatan milik Tuhan,
namun tidak berarti bahwa dalam Negara Islam semua hukum dibuat oleh Tuhan sendiri
dan al-Qur'an telah menyediakan semua hukum positif tersebut. Hukum di Negara Islam
dibuat oleh wakil-wakil rakyat berdasarkan petunjuk-petunjuk dasar yang
terdapat dalam al-Qur'an. Sehingga tentu saja rakyat tidak boleh membuat suatu
hukum apapun yang bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an yang sharih yang
menunjukkan berlaku universal.
Sumber
pokok dan utama yang menjadi dasar dalam meluarkan semua prinsip-prinsip dan peraturan dalam Islam adalah al-Qur'an yang semua hukum di dalamnya memiliki
keunggulan terhadap hukum buatan manusia. Dan yang lebih jauh lagi, al-Qur'an merupakan otoritas
mutlak, sumber final dalam semua diskusi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
dan hukum dalam Islam.
Dalam al-Qur'an terdapat dua macam ayat yaitu qath'i dan
zhanny. Pada ayat yang bersifat zhanny memungkinkan
adanya perbedaan penafsirani. Sedangkan ayat-ayat qath'i merupakan dasar dari al-Qur'an
dan mengandung prinsip-prinsip dasar dalam
agama. Jadi apapun penafsiran dari ayat-ayat zhanny, hal itu tidak
mempengaruhi ayat-ayat qath'i.
Sunnah
atau Hadis adalah merupakan sumber kedua, dan tidak diragukan lagi merupakan sumber
sekunder hukum Islam. Berdasarkan
pengertian ini, sunnah menunjukkan perbuatan, dan hadis adalah perkataan dari
Nabi saw. Sebagai akibatnya. Meski keduanya mencakup dasar yang sama dan dapat
dipergunakan untuk perkataan, tindakan dan persetujuan Nabi saw,
hadis merupakan narasi dan rekam dari sunnah, akan tetapi sunnah juga berisi
sebagai tambahannya, berbagai macam hal-hal yang berkaitan dengan Nabi saw,
dan sejarahnya elemen-elemen Islam. Karena al-Qur'an
secara umum membicarakan
prinsip-prinsip dan esensi Islam secara garis besar. Detailnya secara umum
disuplai oleh sunnah sebagai penjelas. Bahkan untuk dua hal institusi keagamaan
Islam yaitu sholat dan zakat, tidak ditemukan rinciannya dalam al-Qur'an.
Rincian mengenai perintah-perintah ini hanya didapati
dalam praktek Nabi saw. Orang-orang
yang memeluk Islam memerlukan baik al-Qur'an
dan sunnah. Dan untuk menghukumi hadis tertentu palsu atau
asli, seorang mukharrij tidak hanya membuat penyelidikan menyeluruh
mengenai ketsiqahan para rawi, tetapi juga mengaplikasikan cara lain
untuk diterimanya hadis. Dan tidak ada hadis yang bisa diterima jika menentang atau berlawanan
dengan ajaran yang jelas dalam al-Qur'an.
0 komentar:
Posting Komentar