Sabtu, 16 Juni 2012

RESUME BUKU THE CONCEPT OF STATE AND LAW IN ISLAM


RESUME BUKU
THE CONCEPT OF STATE AND LAW IN ISLAM
CHAPTER IV (HLM. 29-37)
BY: FAROOQ HASSAN

Dalam menganalisis dan menguji hukum negara dalam Islam, perlu dilihat dahulu pandangan hukum filosofi barat yang mempunyai gagasan berbeda-beda. Di antara teori-teori yang dibangun diatas landasan-landasan gagasan ini, ada pengaruh yang kuat dari Bentham (1748-1832) yang memunculkan 3 mazhab:
1.    Mazhab Analitik (Mazhab Positif)  atau Imperatif dengan pencetusnya John Austin yang sangat terkenal.
2.    Di Benua Eropa muncul mazhab-mazhab sejarah di bawah Hegel yang melihat hukum secara berbeda (mazhab history), dan demikian juga konsepsinya tentang negara yang secara mendasar berbeda dari konsep penganut teori positif.
3.    Dari dua mazhab di atas juga terdapat Mazhab Alam.

Tiga cara dalam membangun teori tentang negara.
1.    Dengan mengkaji fungsi sebenarnya dari negara sebagaimana ilmuan politik melihat bagaimana negara berjalan secara nyata.
2.    Pandangan ideal tentang bagaimana seharusnya sebuah Negara seperti dalam filsafat politik negara itu sebaiknya seperti apa. Atau dasar teoritis pendekatan ahli-ahli hukum mengenai negara.
3.    Teori Yuristik Negara, bukan dimaksudkan untuk menyajikan gambaran yang komplit tentang berkerjanya negara secara aktual, melainkan menyajikan konsepsi-konsepsi yang disekitarnya teori hukum dibangun. Khususnya mengkaji tentang hubungan hukum dengan Negara, mengajukan pertanyaan apakah hukum public adalah benar-benar hukum?, bisakah seorang warga negara mempunyai hak-hak hukum terhadap negara?.

Tiga Teori Yuristik utama mengenai hubungan negara dan hokum:
1.    Negara lebih tinggi (dulu) dari hukum dan lebih berhak menciptakan hokum.
2.    Hukum lebih dahulu (tinggi) dari negara ketika negara ini muncul.
3.    Hukum dan negara itu sama namun dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Teori pertama mazhabnya John Austin menunjukkan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang berwenang (karena pada saat itu kekuasaan tertinggi adalah raja). Namun dalam mengukur kekuasaan itu, John Austin membuat ukuran nyata yang berlaku dalam masyarakat.
1.    Harus ada masyarakat politik dengan jumlah yang cukup, dan seorang penguasa tertinggi yang biasanya dipatuhi oleh sejumlah besar anggota dari masyarakat tersebut sementara penguasa yang lain tidak dipatuhi.
2.    Penguasa tertinggi memiliki kekuasaan yang berwenang yang bisa membuat hukum. Oleh karenanya, hubungan antara rakyat dan kekuasaan adalah hubungan kekuasaan.
3.    Penguasa yang berewenang bisa tidak mempunyai hak-hak hukum, juga tidak bisa diikat dengan kewajiban hukum. Karena hubungan hukum hanya bisa ada di antara dua kelompok di mana di atas mereka ada penguasa yang akan menjalankan aturan hukum.
Dan dari adanya fakta di atas, hukum tata negara harus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1.    Hukum hanya menjadi kaedah-kaedah akhlak yang berlaku, yang dijalankan oleh sanksi-sanksi moral itu sendiri.
2.    Hukum tata negara itu menjadi hukum positif yang mengikat pribadi-pribadi dari lembaga hukum. Dan jika kekuasaan hanya terdiri dari satu orang saja maka hukum tata negara hanyalah sebagai kaedah moral saja.

Teori kekuasaan yang berfungsi sebagai teori formal, berusaha membenarkan bahwa kekuasaan adalah sesuatu kebutuhan moral. Sebagaimana para Hegelians mengatakan bahwa hukum merupakan nilai moral tertinggi, sehingga negara harus mencakup segala kebutuhan dari kehidupan sosial. Teori ini memberikan pembenaran atas negara yang absolut. Negara adalah ide ketuhanan yang ada di bumi seperti doktrin Nazi dan konsep orang fasis yang menganggap bahwa hukum itu hanya sebagai keinginan/kehendak pemimpin. Namun, karena menurut Islam negara tunduk pada hukum syariat, dan negara dibuat dari hukum tersebut, maka teori ini tidak cocok bila negara totaliter, negara Islam atau sebaliknya menggunakan consep ini.
Dan dari analisis di atas hanya menunjukkan arti penting mazhab Austin dalam urusan kontemporer saja. Terutama dengan kekuasaan tertinggi dalam eksekutif negara, di mana kekuasaan eksekutif ini merupakan satu kesatuan Yurisprudensi, yang secara mendasar teori bertentangan dengan hukum Islam. Karena hukum positif hanyalah hukum yang dibuat oleh orang sedangkan hukum alam bagi Islam adalah hukum yang dibuat oleh Allah, sementara yang tidak percaya tuhan, maka hukum alam adalah aturan hukum yang bersifat norma abadi dan universal.
Teori kedua (sebagaimana telah kami sebutkan di atas) memandang bahwa hukum lebih mendasar (lebih penting) lebih mendasar dan mendahului negara. Oleh  karena itu hukum bisa saja mengikat negara.
Secara mendasar, teori ini mirip dengan konsepsi Islam mengenai asal ketuhanan dari kebanyakan hukum-hukum Islam. Pada abad pertengahan,  Bahkan seorang hakim kerajaan seperti Bracton tanpa takut-takut menyatakan bahwa raja di ikat oleh hukum. Teori konstitusi modern juga berusaha untuk mengikat pemerintah dengan membuat sebuah hukum yang lebih tinggi yang hanya bisa diamandemen dengan referendum.
Teori ketiga sebagaimana digambarkan oleh Kelsen menganggap bahwa hukum dan negara benar-benar sama. Negara hanya tatanan hukum dilihat dari sudut pandang lain. Individu manusia sendiri dapat bertindak, dan kekuatan hukum diperhitungkan pada perilaku manusia hanya jika sesuai dengan aturan hukum. Tapi pentingnya praktis dari pendekatan Kelsen adalah bahwa dia menekankan bahwa hukum adalah gagasan yang lebih mendasar dari negara. Meskipun benar bahwa hukum tidak dapat ada tanpa sebuah tatanan hukum, agar dapat mengambil bentuk lain dari itu negara. Oleh karena itu, teori ini lebih luas dan karena itu lebih dapat diterima daripada Austin.
Dari uraian para pemikir Barat mengenai filsafat negara, beberapa pemikiran itu telah menimbulkan perbedaan penjelasan mengenai subjek dan fenomena yang sama yang menunjukkan sulitnya problem negera.     
Menurut ilmu politik dan hukum -sebagaimana dikatakan Oppenheim- sepakat bahwa negara memiliki 4 unsur:
1.      Territorial
2.      Populasi
3.      Organisasi
4.      Kedaulatan.
Dengan memperhatikan 4 unsur ini, Negara Islam dengan negara-negara lainnya dapat antara lain:
1.    Kedaulatan negara di bawah kekuasaan Tuhan. Lebih jauh lagi negara tidak memiliki kedaulatan
2.    Beberapa badan negara tidak memiliki kekuataan tertinggi karena dibatasi oleh kekuasaan Tuhan
3. Penekanan terhadap definisi batas territorial tidak terlalu penting.

Dasar Islam telah ditentukan oleh Nabi Muhammad saw dan dilanjutkan oleh periode Khulafa ar-Rasydin. Problem-problem yang semakin kompleks telah mengubah dan memfariasikan cara-cara tertentu dalam kenegaraan. Meski demikian terdapat nilai-nilai yang masih tetap seperti persamaan, keadilan, dan toleransi, tetapnya semua nilai dasar ini berlaku sampai masa setelah Khulafa ar-Rasydin.  
Akan tetapi, lantaran di Eropa telah berlaku sistem pemerintahan feodalisme dan monarki, maka meski terdapat negara-negara atau hukum-hukum Islam, di Eropa tetap tertutup dari 4 unsur dasar negara Islam. Perubahan yang paling mendalam adalah berakhirnya kekerajaan dan teori hukum yang terkait dengan sistem monarki.
Dan meskipun telah dinyatakan bahwa dalam Negara Islam, kedaulatan milik Tuhan, namun tidak berarti bahwa dalam Negara Islam semua hukum dibuat oleh Tuhan sendiri dan al-Qur'an telah menyediakan semua hukum positif tersebut. Hukum di Negara Islam dibuat oleh wakil-wakil rakyat berdasarkan petunjuk-petunjuk dasar yang terdapat dalam al-Qur'an. Sehingga tentu saja rakyat tidak boleh membuat suatu hukum apapun yang bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an yang sharih yang menunjukkan berlaku universal.
            Sumber pokok dan utama yang menjadi dasar dalam meluarkan semua prinsip-prinsip dan peraturan dalam Islam adalah al-Qur'an yang semua hukum di dalamnya memiliki keunggulan terhadap hukum buatan manusia. Dan yang lebih jauh lagi, al-Qur'an merupakan otoritas mutlak, sumber final dalam semua diskusi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan hukum dalam Islam.
            Dalam al-Qur'an terdapat dua macam ayat yaitu qath'i dan zhanny. Pada ayat yang bersifat zhanny memungkinkan adanya perbedaan penafsirani. Sedangkan ayat-ayat qath'i merupakan dasar dari al-Qur'an dan mengandung prinsip-prinsip dasar dalam agama. Jadi apapun penafsiran dari ayat-ayat zhanny, hal itu tidak mempengaruhi ayat-ayat qath'i.
Sunnah atau Hadis adalah merupakan sumber kedua, dan tidak diragukan lagi merupakan sumber sekunder hukum Islam. Berdasarkan pengertian ini, sunnah menunjukkan perbuatan, dan hadis adalah perkataan dari Nabi saw. Sebagai akibatnya. Meski keduanya mencakup dasar yang sama dan dapat dipergunakan untuk perkataan, tindakan dan persetujuan Nabi saw, hadis merupakan narasi dan rekam dari sunnah, akan tetapi sunnah juga berisi sebagai tambahannya, berbagai macam hal-hal yang berkaitan dengan Nabi saw, dan sejarahnya elemen-elemen Islam. Karena al-Qur'an secara umum membicarakan prinsip-prinsip dan esensi Islam secara garis besar. Detailnya secara umum disuplai oleh sunnah sebagai penjelas. Bahkan untuk dua hal institusi keagamaan Islam yaitu sholat dan zakat, tidak ditemukan rinciannya dalam al-Qur'an. Rincian mengenai perintah-perintah ini hanya didapati dalam praktek Nabi saw. Orang-orang yang memeluk Islam memerlukan baik al-Qur'an dan sunnah. Dan untuk menghukumi hadis tertentu palsu atau asli, seorang mukharrij tidak hanya membuat penyelidikan menyeluruh mengenai ketsiqahan para rawi, tetapi juga mengaplikasikan cara lain untuk diterimanya hadis. Dan tidak ada hadis yang  bisa diterima jika menentang atau berlawanan dengan ajaran yang jelas dalam al-Qur'an.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes