ILMU PRAKTIK RITUAL KEAGAMAAN
(Dalam Perspektif Epistemologi)
Oleh: Hudzaifaturrahman
A. Pendahuluan
Manusia pada hakikatnya adalah
mahluk beragama. Hal ini berawal dari naluri alamiyahnya untuk mengabdi kepada
suatu obyek yang lebih tinggi dari dirinya atau yang menguasai dirinya. Naluri
ini merupakan wujud dari adanya dorongan untuk kembali kepada Tuhan akibat
adanya perjanjian ilahiyah. Dengan demikian pengalaman tersebut sebagai
pengalaman spiritual yang mengendap di bawah sadar dan akan selalu mempengaruhi
manusia.
Agama bagi manusia merupakan
kebutuhan yang bersifat fitrawi, karena disamping merupakan kebutuhan alami
manusia, agama (Islam) juga sebagai satu-satunya cara atau sarana untuk mencapai
kebutuhan alami tersebut. Ekspresi pengalaman keagamaan akan terwujud dalam
satu sistem tata nilai yang berkaitan dengan Tuhannya (nilai ibadah),
hubungan antar manusia (nilai muamalah), dan dengan dirinya (nilai akhlak).
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu
mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya
berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan dan memberi kesejahteraan bagi umat
manusia. Dengan keunggulan dan keterbatasannya dua sosok subyek ini dalam taraf
tertentu telah memberikan sumbangan yang nyata bagi peningkatan taraf kehidupan
manusia.
Pengetahuan dan
pemahaman manusia terhadap agama dapat dicapai melalui aktifitas
rasional-empiris maupun tekstual-normatif. Proses pemahaman dan pemaknaan
terhadap agama akan menimbulkan praktik ritual keagamaan dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian praktik ritual keagamaan merupakan realisasi dari adanya
dorongan, pemahaman dan pemaknaan terhadap realitas beragama manusia.
B. Agama Dan Keberagamaan Manusia
1.
Pengertian
Agama
Menurut Mukti Ali, memberikan pengertian agama sangat sulit, hal
ini dikarenakan: Pertama, pengalaman agama adalah bersifat subyektif dan
batini; kedua, orang dalam membicarakan agama akan sangat
bersemangat dan emosional; ketiga, konsepsi tentang agama akan
dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.
Dalam masyarakat Indonesia, agama berasal
dari bahasa sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa agama
tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi
tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun-temurun. Ada juga yang berpendapat
agama bermakna teks atau kitab suci atau tuntunan hidup bagi penganutnya.
Dalam bahasa Arab, agama dikenal
dengan (الدين) yang mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan
yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang, juga merupakan hutang bagi
yang tidak melaksanakan kewajibannya. Sedangkan
menurut bahasa latin agama disebut religi
yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang juga
merupakan kitab suci yang harus dibaca.
Ada
beberapa unsur-unsur penting dalam agama yaitu: (1) adanya kekuatan ghaib yang
mengatur hidup manusia; (2) keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia
dan di akhirat tergantung adanya hubungan baik dengan kekuatan ghaib itu; (3) respons yang bersifat emosional dari
manusia; dan (4) paham yang kudus (scared) dan suci dalam bentuk
kekuatan ghaib.
Dengan demikian maka agama dapat dirumuskan dalam pengertian sebagai suatu sistem
keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia. Dengan kepercayaan tersebut manusia berusaha untuk selalu
berhubungan dengan yang mutlak tersebut dengan melalui sistem ritus tertentu
dan juga dengan melaksanakan tata aturan (norma) yang telah ditetapkan.
Dan pada
akhirnya agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya
dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan juga untuk
memenuhi hajat jiwanya.
2.
Fungsi
Agama
Manusia adalah salah satu mahluk
yang menempati tempat khusus dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Perbedaan
mendasar pada manusia adalah mampu mengembangakan diri, baik dari aspek
pandangan mengenai hidupnya dan kecenderungan yang terdapat di dalam dirinya.
Juga dalam memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya dan dalam berhubungan
dengan lingkungannya.
Dengan
kekuatan akal pikirannya manusia mampu menjelajahi alam dan semua aturan yang
mengatur wujud alam. Namun terkadang kekuatan akal tersebut tidak mampu
mengungkap hakekat realitas, sehingga manusia membutuhkan satu kebenaran mutlak
yang bersifat universal. Dengan demikian fungsi agama dapat meliputi:
a.
Agama menjadi petunjuk bagi keterbatasan
akal pikir dan memberi penjelasan terhadap rasa keingintahuan manusia.
b.
Agama muncul untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan hidup manusia dengan memberikan jawaban bagi kepuasan
spiritual.
c.
Agama memberikan ajaran praktis bagi
kehidupan manusia di alam semesta.
d.
Agama berperan mendorong terbentuknya sistem-sistem
sosial yang terpadu dan utuh.
e.
Agama merupakan kekuatan untuk memaksa dan
memperkuat adat istiadat.
f.
Agama memungkinkan manusia mampu mengatasi
sifat mementingkan dirinya sendiri dengan keyakinan agama menjadikan manusia
sadar akan nilai suci dan patuh pada nilai itu.
g.
Agama memotivasi tingkah laku manusia dalam
melaksanakan aturan-aturan dari tuhan.
3. Dimensi Keberagamaan Manusia
Menurut
Glock dan Stark (Robertdon, 1988) sebagaimana dikutip oleh Dr. Djamaludin Ancok
dan Fuat Nashori Suroso dalam buku Psikologi Islami mengatakan ada lima macam
dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi
peribadatan (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperensial),
dimensi pengalaman (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual).
a. Dimensi Keyakinan: dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana
orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat
kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat.
b. Dimensi Ritualistik: dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan,
dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang
dianutnya.
c. Dimensi Penghayatan: mengacu pada pemaknaan agama selalu terkait dengan
masalah pengalaman, perasaan, persepsi dan sensasi manusia terhadap Tuhan.
d. Dimensi Konsekuensial: dimensi ini
mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman,
dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
e. Dimensi Intelektual: pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
C. Ritualisasi Keagamaan Dalam
Perspektif Epistemologi
1.
Ritus
Ritus merupakan suatu pengungkapan terhadap simbol-simbol
keyakinan beragama dalam satu sistem perilaku. Pengungkapan simbol tersebut
merupakan satu bentuk ekspresi pengamalan beragama yang berisi aturan-aturan
pemujaan, bentuk kesucian dan sebagai salah satu sarana atau media untuk
bertemu dengan yang suci. Jadi praktik ritual keagamaan adalah salah
satu manifestasi dari nilai imani seseorang kepada sesuatu yang
menguasai hidupnya.
Dalam konteks ajaran Islam praktik ritus ini biasa di
sebut ibadah. Ibadah yang terambil dari bahasa arab (عبد) mempunyai arti
mengabdi, tunduk, taat, merendahkan diri dan sebagainya. Menurut
Syaikh Ja’far Subhani, ibadah ialah ketundukan dan ketaatan yang berbentuk
lisan dan praktek yang timbul akibat keyakinan tentang ketuhanan siapa yang
kepadanya seseorang tunduk..
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu
yang disukai dan diridhai oleh Allah dalam bentuk ucapan dan perbuatan batin
dan lahir seperti shalat, puasa, dan haji. Kebenaran dalam pembicaraan,
penunaian amanah, kebaktian kepada kedua orang tua, hubungan kekeluargaan dan
sebagainya.
Menurut Muhammad al-Ghazali mengutip pendapat Ja’far ash-Shiddiq
tentang hakikat ibadah yang menurutnya dapat wujud apabila seseorang memenuhi 3
hal:
a.
Tidak menganggap apa yang berada di bawah
kekuasaan atau wewenangnya sebagai milik pribadinya karena yang dinamai (hamba
sahaya) tidak memiliki sesuatu.
b.
Menjadikan
segala aktivitasnya berkisar pada pelaksanaan apa yang diperintahkan padanya
serta menjauhi larangannya.
c.
Tidak
mendahului-Nya dalam mengambil suatu keputusan atau dengan kata lain mengaitkan
segala apa yang hendak dilakukannya dengan seizin dan restu siapa yang
kepadanya ia mengabdi.
Prinsip ibadah merupakan realisasi dari
adanya keyakinan tauhid, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan
manusia lainnya. Prinsip ibadah adalah bentuk aktualisasi nilai imani yang
terdapat dalam diri manusia, yaitu dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan lahiriyah
maupun ibadah-ibadah sosial yang lain. Prinsip ibadah ini disandarkan atas
adanya satu nilai amal (amal, balasan) dari sang pencipta.
Tujuan ibadah menurut Syaikh Muhammad Abduh
sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, S.H., Dkk. Dalam
buku Filsafat Hukum Islam menjelaskan arti ibadah sebagai puncak ketundukan
akibat adanya rasa pengagungan terhadap yang disembah menggaris bawahi
tujuan ibadah dalam agama-agama adalah
mengingatkan manusia tentang rasa keagungan akan kekuasaan tuhan yang Maha
Tinggi. Sedangkan menurut Abbas al-Aqqad tujuan pokok ibadah yaitu:
a. Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya, yang juga
memiliki kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan jasmaniyahnya.
Mengingatkan bahwa di balik kehidupan yang fana ini, masih ada lagi
kehidupan berikut yang bersifat abadi.
2. Epistemologi Ilmu
Ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui proses
tertentu yang dinamakan metode keilmuan sehingga ilmu pengetahuan dapat
dibedakan dengan buah pemikiran lainnya, sedangkan yang membahas proses-proses
yang terlihat dalam usaha menusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan disebut
dengan teori pengetahuan atau epistemologi.
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme
berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian, alasan. Jadi
epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan. Sedangkan
definisi epistemologi dapat dikemukakan sebagai teori mengenai hakikat ilmu
pengetahuan, ialah bagian filsafat mengenai refleksi manusia atas kenyataan, atau
dengan kata lain epistemologi mempelajari tentang sumber (asal muasal),
struktur, metode dan validitas pengetahuan.
Secara garis besar epistemologi mempunyai dua aliran
pokok. Pertama, adalah idealisme yang lebih populer dengan rasionalisme,
yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan pentingnya peran akal, idea,
category dan form sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kedua
adalah realisme yang lebih popular dengan sebutan empirisme, yang lebih menekankan
dan mementingkan peran panca indera (sentuhan, penglihatan, penciuman,
pencicipan, dan pendengaran) sebagai seumber pengetahuan.
Akan tetapi Van Peursen membedakan antara realisme dengan empirisme. Realisme menyatakan
obyek-obyek yang diketahui adalah nyata dalam diri sendiri, dan dia juga menambahkan
sumber pengetahuan dengan kritisisme yang memandang bahwa ruang dan waktu
sebagai bentuk pengamatan, sedangkan akal berfungsi mengolah hasil pengamatan
tersebut.
Dan dari beberapa penjelasan pengerttian epistemologi
di atas, bila dilihat dari sudut pandang epistemologi, praktik ritual keagamaan
dapat dilihat dari sisi sumber, cara memperoleh (metode) dan tolak ukur
kebenarannya.
3. Praktik Ritual Keagamaan Dari Sudut Pandang Epistemologi
a. Sumber Praktik Ritual Keagamaan
1) Normatif vs Historis
Konsep dari praktik
ritual keagamaan disandarkan atas satu sistem norma (aturan yang bersumber dari
teks), sehingga norma-norma agama adalah produk Tuhan, sehingga bersifat
universal infinite (tidak terbatas), trans-historis (melewati
batas-batas kesejarahan manusia). Namun praktik ritual yang semacam ini tidak
dapat dinikmati oleh manusia tanpa pemaknaan yang bersifat historis, konkrit
terbatas dalam ruang dan waktu secara subyektif. Hubungan antara dua aspek
dalam praktik ritual mini harus bersifat dialektis, yaitu saling mengisi,
melengkapi, memperkokoh bahkan saling mengkritik dan mengontrol.
Dari pemahaman
manusia terhadap norma-norma agama sebagai “produk” dari Tuhan, maka akan
melahirkan praktik keagamaan yang bersifat teologis normatif. Sedangkan
pengalaman ritual yang didasarkan atas satu “proses” beragama menimbulkan
praktik ritual yang bersifat historis-empiris.
2) Transenden vs Imanen
Imanensi dan
transendensi merupakan konsep penting di dalam sejarah filsafat. Imanensi dan
transendensi telah memberi warna dasar pemikiran, baik dalam filsafat maupun
dalam mistik.
Memperhatikan
perkembangan problem imanensi dan transendensi di sepanjang sejarah pemikiran
filsafat nampaknya dapat diambil sebuah kesimpulan ini permasalahannya adalah
disekitar hubungan tuhan dan manusia. Konsep transendensi merujuk kepada tuhan
yang Maha Esa dan Mutlak mengatasi segala sesuatu.
Tuhan sebagai sumber kebenaran mengambil tempat di luar manusia (transenden),
sehingga dengan sendirinya manusia selalu merasa diawasi dalam setiap
perilakunya. Hal ini mengakibatkan manusia secara lahiriyah harus selalu tunduk
dan patuh kepada-Nya. Ketaatan ini juga disebabkan oleh adanya keterkaitan
antara keselamatan diri manusia dengan perlidungan yang diberikan oleh Tuhan.
Praktik ritual dalam hal ini juga didasarkan atas pemahaman manusia tentang
keberadaan realitas kebenaran yang memberikan seperangkat aturan atau norma
yang harus dipatuhi dan ditaati oleh manusia.
Konsep imanensi
merujuk kepada hubungan dan kehadiran tuhan dalam dunia dan diri manusia.
Wujud dari keberadaan tuhan ialah menjelma ke dalam realitas “minor” yakni
masuk ke dalam relung hati manusia yang paling dalam. Dengan demikian maka
realitas kebenaran berada di dalam diri manusia (imanent). Dari sini
dapat dijelaskan bahwa praktik ritual keagamaaan adalah satu proses penghayatan
dan pemaknaan terhadap realitas keberaadaan manusia di mana unsur jasad (telah
disucikan) masuk ke dalam ruhani atau jiwa manusia sebagai bagian yang berasal
dari Tuhan (telah terasuki) unsur Tuhan. Sehingga praktik ritual adalah
merupakan satu proses pencarian terhadap “keberadaan manusia” (keberadaan Tuhan
dalam diri manusia).
b. Metode Ritual Keagamaan: Antara Deduksi-Teologis Dengan
Induksi-Humanistik.
1) Metode Deduksi dan Teologis
Yaitu salah satu cara
memahami teks (norma) yang diturunkan kepada manusia. Teks (norma) tersebut
sebagai produk yang berisi tentang aturan-aturan yang harus dipatuhi dan
ditaati oleh manusia. Usaha untuk memahami norma tersebut adalah suatu usaha
untuk menterjemahkan bahasa tuhan ke dalam bahasa manusia. Penjelasan tentang
bahasa tuhan hanya dapat dicapai melalui satu cara penelusuran deduktif dengan
melacak kepada penterjemahan utusan Tuhan terhadap norma (aturan) tersebut ,
sehingga dapat dipakai dan diajarkan kepada manusia lain.
Apabila ditelusuri lebih
jauh, maka kebenaran bersifat teologis (karena adanya truth-claim)–idealis
(ada dalam angan-angan manusia). Jadi ukuran kebenaran berada pada Tuhan atau
wakilnya
(khalifah dan ulama’ yang mempunyai otoritas untuk menterjemahkan kebenaran
tersebut). Dan agama dalam perspektif ini adalah dari Tuhan-untuk manusia-menuju
Tuhan.
2) Metode Induksi dan Humanistik
Yaitu lebih bersifat
maknawi, artinya agama itu dilaksanakan oleh manusia untuk manusia dan Tuhan tidak
berhajat terhadap hal tersebut. Dari padangan ini maka beragama merupakan satu
proses pemaknaan terhadap realitas kebenaran, dimana unsur historisitas (empiris) sangat dominan dalam proses tersebut. Karena agama adalah untuk
manusia, maka kebenarannya harus manusiawi (sesuai dengan realitas
kemanusiaan). Agama dalam paparan ini lebih bercorak humanis dan nilai kebenaran
leih bersifat intersubyektif, serta berada dalam dataran realitas.
c. Ukuran Kebenaran Dalam Praktik Ritual Keagamaan: Antara Formal Dan
Simbolis
Nilai ketaatan dan
penghayatan manusia kepada tuhan melahirkan suatu sistem ritus (ibadah).
Menurut Harun Nasution ibadah tidak hanya menyembah Tuhan saja, akan tetapi
lebih dari itu agar ruh manusia selalu dalam keadaan suci. Implikasi nilai
ibadah ini mempunyai nilai pada dimensi sosial.
Berangkat dari
pemahaman manusia terhadap realitas kebenaran, maka praktik ritual keagamaan
yang dipakai sebagai bentuk kewajiban terkesan sebagai satu aturan yang ketat
dan memberatkan, sehingga dalam pelaksanaannya lebih bersifat formalistik (menggugurkan
kewajiban) belaka. Berbeda dengan pemahaman tersebut, nilai penghayatan dan
pemahaman terhadap realitas di mana berangkat dari dirinya sendiri, sehingga
ibadah dilakukan dengan niat untuk satu niat kesucian dan dapat bertemu dengan
realitas kesucian tersebut, sehingga ibadah hanya merupakan simbol dari aspek
untuk selalu mengingat realitas kebenaran. Dalam pemahaman kedua tersebut,
bentuk formalitas saja tidak cukup sebagai wujud dari praktik ritual keagamaan
didasari atas sikap dari pemahaman yang lebih esensial. Apalagi
di dalam agama Islam yang lebih menekankan kebenaran dan keikhlasan dalam
setiap praktek ritual ibadahnya
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus”
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2002
MA, Drs. H. Muzairi, dkk., Imanensi dan
Transendensi Dalam Suluk Jawa,
laporan penelitian kelompok proyek Perguruan Tinggi Agama UIN Sunan
Kalijaga Yogyaarta, 1995
Suroso, Dr. Djamaludin Ancok, Fuat Nashori, Psikologi Islami, cet. Ke-I, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994,
Syah, S.H.,
Dkk., Prof. Dr. H. Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-3, Jakarta:
Bumi Aksara, 1999,
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 cet. Ke-5, Jakarta:UI
Press, 1985,
Hilaludin, Ilmu
Dan Klasifikasinya Menurut Ibn Khaldun, skripsi strata satu Fakultas
Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
Huda, Samsul,
Unsure-Unsur Epistemology Di Dalam Pandangan Filosofis Ibn Rusyd,
skripsi strata satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997
Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori
Suroso, Psikologi Islami, cet. Ke-I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),
hlm.123.
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, cet.
Ke-5, (Jakarta:UI Press, 1985), Jilid 1, hlm. 1.
Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, S.H., Dkk., Filsafat Hukum Islam, cet.
Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 69.
Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, op. cit., hlm. 77.
Hilaludin, “Ilmu Dan Klasifikasinya Menurut Ibn Khaldun”, skripsi strata
satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1988), hlm. 58
Samsul Huda, “Unsure-Unsur Epistemology Di Dalam Pandangan Filosofis Ibn
Rusyd”, skripsi strata satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (1997), hlm. 2.
Drs. H. Muzairi, MA, dkk., “Imanensi dan
Transendensi Dalam Suluk Jawa”, laporan
penelitian kelompok proyek Perguruan Tinggi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyaarta
(1994-1995), hlm. 1