Sabtu, 16 Juni 2012

ILMU PRAKTIK RITUAL KEAGAMAAN (Dalam Perspektif Epistemologi)


ILMU PRAKTIK RITUAL KEAGAMAAN
(Dalam Perspektif Epistemologi)
Oleh: Hudzaifaturrahman

A.  Pendahuluan
            Manusia pada hakikatnya adalah mahluk beragama. Hal ini berawal dari naluri alamiyahnya untuk mengabdi kepada suatu obyek yang lebih tinggi dari dirinya atau yang menguasai dirinya. Naluri ini merupakan wujud dari adanya dorongan untuk kembali kepada Tuhan akibat adanya perjanjian ilahiyah. Dengan demikian pengalaman tersebut sebagai pengalaman spiritual yang mengendap di bawah sadar dan akan selalu mempengaruhi manusia.[1]
            Agama bagi manusia merupakan kebutuhan yang bersifat fitrawi, karena disamping merupakan kebutuhan alami manusia, agama (Islam) juga sebagai satu-satunya cara atau sarana untuk mencapai kebutuhan alami tersebut. Ekspresi pengalaman keagamaan akan terwujud dalam satu sistem tata nilai yang berkaitan dengan Tuhannya (nilai ibadah), hubungan antar manusia (nilai muamalah), dan dengan dirinya (nilai akhlak).[2]
        Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan dan memberi kesejahteraan bagi umat manusia. Dengan keunggulan dan keterbatasannya dua sosok subyek ini dalam taraf tertentu telah memberikan sumbangan yang nyata bagi peningkatan taraf kehidupan manusia.[3]
       Pengetahuan dan pemahaman manusia terhadap agama dapat dicapai melalui aktifitas rasional-empiris maupun tekstual-normatif. Proses pemahaman dan pemaknaan terhadap agama akan menimbulkan praktik ritual keagamaan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian praktik ritual keagamaan merupakan realisasi dari adanya dorongan, pemahaman dan pemaknaan terhadap realitas beragama manusia.[4]

B.  Agama Dan Keberagamaan Manusia
1.    Pengertian Agama
               Menurut Mukti Ali, memberikan pengertian agama sangat sulit, hal ini dikarenakan: Pertama, pengalaman agama adalah bersifat subyektif dan batini; kedua, orang dalam membicarakan agama akan sangat bersemangat dan emosional; ketiga, konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.[5]
               Dalam masyarakat Indonesia, agama berasal dari bahasa sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa agama tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun-temurun. Ada juga yang berpendapat agama bermakna teks atau kitab suci atau tuntunan hidup bagi penganutnya.[6]
               Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan (الدين) yang mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang, juga merupakan hutang bagi yang tidak melaksanakan kewajibannya.[7] Sedangkan menurut bahasa latin agama disebut religi yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang juga merupakan kitab suci yang harus dibaca.[8]
               Ada beberapa unsur-unsur penting dalam agama yaitu: (1) adanya kekuatan ghaib yang mengatur hidup manusia; (2) keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan di akhirat tergantung adanya hubungan baik dengan kekuatan ghaib itu; (3) respons yang bersifat emosional dari  manusia; dan (4) paham yang kudus (scared) dan suci dalam bentuk kekuatan ghaib.[9] Dengan demikian maka agama dapat dirumuskan dalam pengertian sebagai suatu sistem keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia. Dengan kepercayaan tersebut manusia berusaha untuk selalu berhubungan dengan yang mutlak tersebut dengan melalui sistem ritus tertentu dan juga dengan melaksanakan tata aturan (norma) yang telah ditetapkan.[10]      
               Dan pada akhirnya agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya.[11]

2.      Fungsi Agama
             Manusia adalah salah satu mahluk yang menempati tempat khusus dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Perbedaan mendasar pada manusia adalah mampu mengembangakan diri, baik dari aspek pandangan mengenai hidupnya dan kecenderungan yang terdapat di dalam dirinya. Juga dalam memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya dan dalam berhubungan dengan lingkungannya.[12]
             Dengan kekuatan akal pikirannya manusia mampu menjelajahi alam dan semua aturan yang mengatur wujud alam. Namun terkadang kekuatan akal tersebut tidak mampu mengungkap hakekat realitas, sehingga manusia membutuhkan satu kebenaran mutlak yang bersifat universal. Dengan demikian fungsi agama dapat meliputi:
a.       Agama menjadi petunjuk bagi keterbatasan akal pikir dan memberi penjelasan terhadap rasa keingintahuan manusia.
b.      Agama muncul untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup manusia dengan memberikan jawaban bagi kepuasan spiritual.
c.       Agama memberikan ajaran praktis bagi kehidupan manusia di alam semesta.
d.      Agama berperan mendorong terbentuknya sistem-sistem sosial yang terpadu dan utuh.
e.       Agama merupakan kekuatan untuk memaksa dan memperkuat adat istiadat.
f.       Agama memungkinkan manusia mampu mengatasi sifat mementingkan dirinya sendiri dengan keyakinan agama menjadikan manusia sadar akan nilai suci dan patuh pada nilai itu.
g.      Agama memotivasi tingkah laku manusia dalam melaksanakan aturan-aturan dari tuhan.[13]

3.      Dimensi Keberagamaan Manusia
             Menurut Glock dan Stark (Robertdon, 1988) sebagaimana dikutip oleh Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso dalam buku Psikologi Islami mengatakan ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi pengalaman (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual).[14]
a.       Dimensi Keyakinan: dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat.[15]
b.      Dimensi Ritualistik: dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
c.       Dimensi Penghayatan: mengacu pada pemaknaan agama selalu terkait dengan masalah pengalaman, perasaan, persepsi dan sensasi manusia terhadap Tuhan.
d.      Dimensi Konsekuensial: dimensi ini  mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
e.       Dimensi Intelektual: pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.[16]

C.  Ritualisasi Keagamaan Dalam Perspektif Epistemologi
1.    Ritus
Ritus merupakan suatu pengungkapan terhadap simbol-simbol keyakinan beragama dalam satu sistem perilaku. Pengungkapan simbol tersebut merupakan satu bentuk ekspresi pengamalan beragama yang berisi aturan-aturan pemujaan, bentuk kesucian dan sebagai salah satu sarana atau media untuk bertemu dengan yang suci. Jadi praktik ritual keagamaan adalah salah satu manifestasi dari nilai imani seseorang kepada sesuatu yang menguasai hidupnya.[17]
Dalam konteks ajaran Islam praktik ritus ini biasa di sebut ibadah. Ibadah yang terambil dari bahasa arab (عبد) mempunyai arti mengabdi, tunduk, taat, merendahkan diri dan sebagainya.[18] Menurut Syaikh Ja’far Subhani, ibadah ialah ketundukan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan praktek yang timbul akibat keyakinan tentang ketuhanan siapa yang kepadanya seseorang tunduk.[19]. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang disukai dan diridhai oleh Allah dalam bentuk ucapan dan perbuatan batin dan lahir seperti shalat, puasa, dan haji. Kebenaran dalam pembicaraan, penunaian amanah, kebaktian kepada kedua orang tua, hubungan kekeluargaan dan sebagainya.[20]
Menurut Muhammad al-Ghazali mengutip pendapat Ja’far ash-Shiddiq tentang hakikat ibadah yang menurutnya dapat wujud apabila seseorang memenuhi 3 hal:
a.       Tidak menganggap apa yang berada di bawah kekuasaan atau wewenangnya sebagai milik pribadinya karena yang dinamai (hamba sahaya) tidak memiliki sesuatu.
b.      Menjadikan segala aktivitasnya berkisar pada pelaksanaan apa yang diperintahkan padanya serta menjauhi larangannya.
c.       Tidak mendahului-Nya dalam mengambil suatu keputusan atau dengan kata lain mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya dengan seizin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.[21]

Prinsip ibadah merupakan realisasi dari adanya keyakinan tauhid, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan manusia lainnya. Prinsip ibadah adalah bentuk aktualisasi nilai imani yang terdapat dalam diri manusia, yaitu dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan lahiriyah maupun ibadah-ibadah sosial yang lain. Prinsip ibadah ini disandarkan atas adanya satu nilai amal (amal, balasan) dari sang pencipta.
Tujuan ibadah menurut Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, S.H., Dkk. Dalam buku Filsafat Hukum Islam menjelaskan arti ibadah sebagai puncak ketundukan akibat adanya rasa pengagungan terhadap yang disembah menggaris bawahi tujuan  ibadah dalam agama-agama adalah mengingatkan manusia tentang rasa keagungan akan kekuasaan tuhan yang Maha Tinggi. Sedangkan menurut Abbas al-Aqqad tujuan pokok ibadah yaitu:
a.       Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya, yang juga memiliki kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan jasmaniyahnya.
b.      Mengingatkan bahwa di balik kehidupan yang fana ini, masih ada lagi kehidupan berikut yang bersifat abadi. [22]

2.      Epistemologi Ilmu
Ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan sehingga ilmu pengetahuan dapat dibedakan dengan buah pemikiran lainnya, sedangkan yang membahas proses-proses yang terlihat dalam usaha menusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan disebut dengan teori pengetahuan atau epistemologi.[23]
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian, alasan. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan. Sedangkan definisi epistemologi dapat dikemukakan sebagai teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan, ialah bagian filsafat mengenai refleksi manusia atas kenyataan,[24] atau dengan kata lain epistemologi mempelajari tentang sumber (asal muasal), struktur, metode dan validitas pengetahuan.[25]
Secara garis besar epistemologi mempunyai dua aliran pokok. Pertama, adalah idealisme yang lebih populer dengan rasionalisme, yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan pentingnya peran akal, idea, category dan form sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kedua adalah realisme yang lebih popular dengan sebutan empirisme, yang lebih menekankan dan mementingkan peran panca indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan, dan pendengaran) sebagai seumber pengetahuan.[26] Akan tetapi Van Peursen membedakan antara realisme dengan empirisme. Realisme menyatakan obyek-obyek yang diketahui adalah nyata dalam diri sendiri, dan dia juga menambahkan sumber pengetahuan dengan kritisisme yang memandang bahwa ruang dan waktu sebagai bentuk pengamatan, sedangkan akal berfungsi mengolah hasil pengamatan tersebut.[27]
Dan dari beberapa penjelasan pengerttian epistemologi di atas, bila dilihat dari sudut pandang epistemologi, praktik ritual keagamaan dapat dilihat dari sisi sumber, cara memperoleh (metode) dan tolak ukur kebenarannya.[28]

3.      Praktik Ritual Keagamaan Dari Sudut Pandang Epistemologi
a.       Sumber Praktik Ritual Keagamaan

1)    Normatif vs Historis
               Konsep dari praktik ritual keagamaan disandarkan atas satu sistem norma (aturan yang bersumber dari teks), sehingga norma-norma agama adalah produk Tuhan, sehingga bersifat universal infinite (tidak terbatas), trans-historis (melewati batas-batas kesejarahan manusia). Namun praktik ritual yang semacam ini tidak dapat dinikmati oleh manusia tanpa pemaknaan yang bersifat historis, konkrit terbatas dalam ruang dan waktu secara subyektif. Hubungan antara dua aspek dalam praktik ritual mini harus bersifat dialektis, yaitu saling mengisi, melengkapi, memperkokoh bahkan saling mengkritik dan mengontrol.[29]
               Dari pemahaman manusia terhadap norma-norma agama sebagai “produk” dari Tuhan, maka akan melahirkan praktik keagamaan yang bersifat teologis normatif. Sedangkan pengalaman ritual yang didasarkan atas satu “proses” beragama menimbulkan praktik ritual yang bersifat historis-empiris.[30]

2)    Transenden vs Imanen
               Imanensi dan transendensi merupakan konsep penting di dalam sejarah filsafat. Imanensi dan transendensi telah memberi warna dasar pemikiran, baik dalam filsafat maupun dalam mistik.[31]
               Memperhatikan perkembangan problem imanensi dan transendensi di sepanjang sejarah pemikiran filsafat nampaknya dapat diambil sebuah kesimpulan ini permasalahannya adalah disekitar hubungan tuhan dan manusia. Konsep transendensi merujuk kepada tuhan yang Maha Esa dan Mutlak mengatasi segala sesuatu.[32] Tuhan sebagai sumber kebenaran mengambil tempat di luar manusia (transenden), sehingga dengan sendirinya manusia selalu merasa diawasi dalam setiap perilakunya. Hal ini mengakibatkan manusia secara lahiriyah harus selalu tunduk dan patuh kepada-Nya. Ketaatan ini juga disebabkan oleh adanya keterkaitan antara keselamatan diri manusia dengan perlidungan yang diberikan oleh Tuhan. Praktik ritual dalam hal ini juga didasarkan atas pemahaman manusia tentang keberadaan realitas kebenaran yang memberikan seperangkat aturan atau norma yang harus dipatuhi dan ditaati oleh manusia.[33]
               Konsep imanensi merujuk kepada hubungan dan kehadiran tuhan dalam dunia dan diri manusia.[34] Wujud dari keberadaan tuhan ialah menjelma ke dalam realitas “minor” yakni masuk ke dalam relung hati manusia yang paling dalam. Dengan demikian maka realitas kebenaran berada di dalam diri manusia (imanent). Dari sini dapat dijelaskan bahwa praktik ritual keagamaaan adalah satu proses penghayatan dan pemaknaan terhadap realitas keberaadaan manusia di mana unsur jasad (telah disucikan) masuk ke dalam ruhani atau jiwa manusia sebagai bagian yang berasal dari Tuhan (telah terasuki) unsur Tuhan. Sehingga praktik ritual adalah merupakan satu proses pencarian terhadap “keberadaan manusia” (keberadaan Tuhan dalam diri manusia).[35]

b.      Metode Ritual Keagamaan: Antara Deduksi-Teologis Dengan Induksi-Humanistik.
1)      Metode Deduksi dan Teologis
          Yaitu salah satu cara memahami teks (norma) yang diturunkan kepada manusia. Teks (norma) tersebut sebagai produk yang berisi tentang aturan-aturan yang harus dipatuhi dan ditaati oleh manusia. Usaha untuk memahami norma tersebut adalah suatu usaha untuk menterjemahkan bahasa tuhan ke dalam bahasa manusia. Penjelasan tentang bahasa tuhan hanya dapat dicapai melalui satu cara penelusuran deduktif dengan melacak kepada penterjemahan utusan Tuhan terhadap norma (aturan) tersebut , sehingga dapat dipakai dan diajarkan kepada manusia lain.
          Apabila ditelusuri lebih jauh, maka kebenaran bersifat teologis (karena adanya truth-claim)–idealis (ada dalam angan-angan manusia). Jadi ukuran kebenaran berada pada Tuhan atau wakilnya
(khalifah dan ulama’ yang mempunyai otoritas untuk menterjemahkan kebenaran tersebut). Dan agama dalam perspektif ini adalah dari Tuhan-untuk manusia-menuju Tuhan.[36]

2)      Metode Induksi dan Humanistik
          Yaitu lebih bersifat maknawi, artinya agama itu dilaksanakan oleh manusia untuk manusia dan Tuhan tidak berhajat terhadap hal tersebut. Dari padangan ini maka beragama merupakan satu proses pemaknaan terhadap realitas kebenaran, dimana unsur historisitas (empiris) sangat dominan dalam proses tersebut. Karena agama adalah untuk manusia, maka kebenarannya harus manusiawi (sesuai dengan realitas kemanusiaan). Agama dalam paparan ini lebih bercorak humanis dan nilai kebenaran leih bersifat intersubyektif, serta berada dalam dataran realitas.[37]

c.       Ukuran Kebenaran Dalam Praktik Ritual Keagamaan: Antara Formal Dan Simbolis
                Nilai ketaatan dan penghayatan manusia kepada tuhan melahirkan suatu sistem ritus (ibadah). Menurut Harun Nasution ibadah tidak hanya menyembah Tuhan saja, akan tetapi lebih dari itu agar ruh manusia selalu dalam keadaan suci. Implikasi nilai ibadah ini mempunyai nilai pada dimensi sosial.[38]
                Berangkat dari pemahaman manusia terhadap realitas kebenaran, maka praktik ritual keagamaan yang dipakai sebagai bentuk kewajiban terkesan sebagai satu aturan yang ketat dan memberatkan, sehingga dalam pelaksanaannya lebih bersifat formalistik (menggugurkan kewajiban) belaka. Berbeda dengan pemahaman tersebut, nilai penghayatan dan pemahaman terhadap realitas di mana berangkat dari dirinya sendiri, sehingga ibadah dilakukan dengan niat untuk satu niat kesucian dan dapat bertemu dengan realitas kesucian tersebut, sehingga ibadah hanya merupakan simbol dari aspek untuk selalu mengingat realitas kebenaran. Dalam pemahaman kedua tersebut, bentuk formalitas saja tidak cukup sebagai wujud dari praktik ritual keagamaan didasari atas sikap dari pemahaman yang lebih esensial[39]. Apalagi di dalam agama Islam yang lebih menekankan kebenaran dan keikhlasan dalam setiap praktek ritual ibadahnya   

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ[40]

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002
MA, Drs. H. Muzairi, dkk., Imanensi dan Transendensi Dalam Suluk Jawa,  laporan penelitian kelompok proyek Perguruan Tinggi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyaarta, 1995
Suroso, Dr. Djamaludin Ancok, Fuat Nashori, Psikologi Islami, cet. Ke-I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994,
Syah, S.H., Dkk., Prof. Dr. H. Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 1999,
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 cet. Ke-5, Jakarta:UI Press, 1985,
Hilaludin, Ilmu Dan Klasifikasinya Menurut Ibn Khaldun, skripsi strata satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
Huda, Samsul, Unsure-Unsur Epistemology Di Dalam Pandangan Filosofis Ibn Rusyd, skripsi strata satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997



[1] Andy Dermawan, dkk., (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta:LSFI, 2002)  hlm. 127.
[2] Ibid., hlm. 127.
[3] Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, cet. Ke-I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm.123.
[4] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit., hlm. 128.
[5] Ibid.,  hlm. 128.
[6] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, cet. Ke-5, (Jakarta:UI Press, 1985), Jilid 1, hlm. 1.
[7] Ibid., hlm.1.
[8] Ibid., hlm.2.
[9] Ibid., hlm.3.
[10] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit., hlm. 130.
[11] Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, S.H., Dkk., Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 69.
[12] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. Cit., hlm. 131.
[13] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit. hlm. 131-134.
[14] Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, op. cit., hlm. 77.
[15] Ibid., hlm. 77
[16] Ibid., hlm. 78
[17] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit.,hlm. 136.
[18] Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, S.H., Dkk., op. cit., hlm. 168.
[19] Ibid., hlm. 172.
[20] Ibid., hlm. 173.
[21] Ibid., hlm. 173-174.
[22] Ibid., hlm182-183.
[23] Hilaludin, “Ilmu Dan Klasifikasinya Menurut Ibn Khaldun”, skripsi strata satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1988), hlm. 58
[24] Ibid., hlm. 58.
[25] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit., hlm. 137.
[26] Samsul Huda, “Unsure-Unsur Epistemology Di Dalam Pandangan Filosofis Ibn Rusyd”, skripsi    strata satu Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1997), hlm. 2.
[27] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit., hlm. 137.
[28] Ibid., hlm. 137
[29] Ibid., hlm. 138.
[30] Ibid., hlm. 138.
[31]Drs. H. Muzairi, MA, dkk., “Imanensi dan Transendensi Dalam Suluk Jawa”,  laporan penelitian kelompok proyek Perguruan Tinggi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyaarta (1994-1995), hlm. 1
[32] Ibid., hlm. 1.
[33] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit.,hlm. 138-139.
[34] Drs. H. Muzairi, MA, dkk., op. cit., hlm. 1
[35] Andy Dermawan, dkk., (ed.), op. cit.,hlm. 139.
[36] Ibid., hlm. 140.
[37] Ibid., hlm. 140.
[38] Ibid., hlm. 140.
[39] Ibid., hlm. 141.
[40] Al-Bayyinah{98}:5.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes